Buah dari Kesabaran
“Barangsiapa yang Meninggalkan Sesuatu Karena Allah, Niscaya Allah akan Menggantikan dengan sesuatu yang Lebih Baik Darinya.”
Oleh : Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Guru dari guru kami [1] seorang ulama dan sejarawan besar Syaikh Muhammad Raghib At-Tabbakh rahimahullah, menyebutkan kisah ini di dalam bukunya I’lam an-Nubaala bi Taarikh Halaab Ash-Shuhaaba (7/231).
Syaikh Ibrahim Al-Hilali Al-Halabi – seorang ulama yang shalih dan mulia, pergi ke Universita Al-Azhar untuk menuntut ilmu. Ketika menuntut ilmu, dia menjadi sangat miskin dan biasa bergantung pada sedekah. Suatu ketika, beberapa hari telah berlalu dan dia tidak menemukan sesuatu pun untuk dimakan, yang membuatnya menjadi sangat lapar. Maka ia keluar dari kamarnya di Al-Azhar untuk meminta sedikit makanan. Dia menemukan sebuah pintu terbuka yang darinya keluar bau makanan sedap. Maka dia pun melewati pintu dan mendapati dirinya berada di sebuah dapur yang kosong. Disana dia menemukan makanan yang mengundang selera, lalu ia mengambil sendok dan memasukkannya ke dalam makanan, tetapi ketika ia mengangkat sendok tersebut ke mulutnya, dia terdiam sejenak karena kemudian dia menyadari bahwa dia tidak mendapatkan izin untuk memakan makanan tersebut. Maka dia pun meninggalkannya kembali ke kamar asrama Al-Azhar, tetap merasa kelaparan. Tidak sampai satu jam berlalu, salah seorang gurunya, ditemani oleh seorang laki-laki, datang ke kamarnya.
“Orang yang baik ini datang kepadaku untuk mencari penuntut ilmu yang shalih yang akan dinikahkan dengan puterinya, dan saya telah memilihmu untuknya. Bangkitlah dan ikutilah bersama kami ke rumahnya dimana kita bisa melangsungkan pernikahan antara kamu dengan puterinya, dan kamu dapat menjadi bagian dari rumahnya.”
Maka Syaikh Ibrahim pun berusaha bangkit dari tidurnya, mentaati perintah gurunya dan pergi bersama mereka. Dan kemudian mereka membawanya persis ke rumah yang sama, rumah yang dimasukinya dan memasukkan sendok ke dalam makanannya. Setelah dia duduk, sang ayah lalu menikahkan dia dengan anak perempuannya dan kemudian makanan pun dibawa keluar. Itu adalah makanan yang sama yang dia masukkan sendok ke dalamnya sebelumnya, makanan yang dia tinggalkan. Namun kini dia makan darinya: ”Saya menahan diri dari memakannya karena saya tidak mendapatkan izin, namun sekarang Allah telah memberikan makanan ini dengan seizin pemilknya.”
Inilah buah kesabaran, dan akibat dari ketakwaan, sebagaimana Allah berfirman:
“...Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS Ath-Thalaq :2-3)
Namun bagi mereka yang tergesa-gesa, mereka yang tidak membedakan antara kebenaran dan kedustaan, mencari kehidupan dunia fana yang sia-sia- mereka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali kesedihan dan penyesalan dalam hatinya, karena mereka tidak akan pernah mendapatkan kehidupan dunia, dan tidak juga mereka berhasil dalam pencapaian agama.
Hal ini karena mereka lupa – atau mungkin mengabaikan – firman Allah:
“Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya.” (QS Az Zumar : 36)
Bagi mereka yang bersabar dan istiqamah dan yang memiliki ketakwaan, mereka akan menguasai kehidupan dunianya dan kemuliaan dan kehormatan bersama Tuhannya pada
hari pengadilan.
Dan Allah berfirman:
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah : 155). Dan Dia berfirman: “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS Az-Zumar : 10)
____________
Catatan kaki:
[1] Penulis merujuk kepada Syaikh Al-Albani, murid dari Syaikh Muhammad Raaghib At-Tabbaakh.
____________________________________________________________________
Aku tidak menangis karena...
D ikisahkan, seorang kakek berusia 70 tahun mengidap sebuah penyakit; dia tidak dapat kencing. Dokter mengabarkan kepadanya kalau dia membutuhkan operasi untuk menyebuhkan penyakitnya. Dia setuju untuk melakukan operasi karena penyakit itu telah menimbulkan sakit yang luar biasa selama berhari-hari.
Ketika operasi selesai, dokter memberikan tagihan pembayaran seluruh biaya operasi. Kakek tua itu melihat pada kuitansi dan mulai menangis. Meihatnya menangis dokter pun berkata kepadanya bila biayanya terlalu tinggi mereka dapat membuat pengaturan lain.
Orang tua itu berkata, ”Aku tidak menangis karena uang itu, tetapi aku menangis karena Allah menjadikanku buang air (tanpa masalah) selama 70 tahun dan Dia tidak pernah mengirimkan tagihan.”
” Dan jika kamu menghitung ni'mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.” (QS Ibrahim [14] : 34)
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan mengenai ayat tersebut di atas:
Allah memberitahukan, bahwa manusia tidak akan mampu menghitung berapa banyak nikmat Al lah, apalagi mensyukurinya.
Disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
”Ya Allah bagimu segala puji, pujian yang tidak mencukupi tidak mungkin ditinggal-kan dan selalu dibutuhkan, wahai Rabb kami.”
Dan diriwayatkan dalam sebuah atsar bahwa Nabi Dawud alaihis salam berkata:
“Ya Rabb, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan syukurku kepadamu itu adalah nikmat-Mu kepadaku?” Maka Allah berfirman:
”Sekarang engkau telah bersyukur kepadaku wahai Dawud.”
Maksudnya (engkau telah bersyukur) ketika engkau telah mengetahui bahwa engkau tidak dapat memenuhi syukur yang sepatutnya kepada Pemberi nikmat.
Sungguh, jika kita menghitung nikmat-nikmat Allah pada diri, maka takkan sanggup kita menghitungnya. Dan yang seringkali terjadi, kita melupakan nikmat-nikmat itu, dan baru terasa begitu berharga ketika kita kehilangan nikmat tersebut.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
”Segala puji bagi Allah yang tidak dapat dipenuhi syukur atas salah satu nikmat yang telah diberikan-Nya itu, kecuali dengan nikmat baru yang harus diyukuri pula.” (tafsir Ibnu Katsir QS Ibrahim : 34)
__________________
dari berbagai sumber