oleh: Alfathri Adlin
Abstract
Hijab, as a code of women dress, has emerged far before emergence of Islam. Nevertheless, when Islam come to be spreaded, hijab was associated with supersitions, one of them is menstrual taboo. However, hijab use in Islam is nothing to do with menstrual taboo, but with state of spirituality of Muslim women. Nonetheless, in the following times hijab has deviated to more polite than of pre-Islam which related to supersitions. The discourse of hijab in this article explored mythology, theology, as well as its ideology Keywords: jilbab deviation, hijab mythology, hijab theology, hijab ideology, menstrual taboo, fashion.
Baghdad beberapa beberapa ratus tahun yang lalu. Seorang perempuan berwajah cantik memasuki kota tersebut dengan hanya menutupi separuh wajahnya menggunakan cadar serta membiarkan separuhnya lagi terbuka. Maka bertanyalah seorang lelaki yang berpapasan dengannya “Mengapa engkau tidak menutup seluruh wajahmu?” Dia menjawab, “Tunjukkan dulu kepadaku seorang laki-laki sejati agar aku bisa menutup seluruh wajahku. Di seluruh Baghdad ini, hanya ada satu laki-laki sejati, dan dia adalah Husayn ibnu Mansyur Al-Hallaj. Seandainya bukan karena dia, aku bahkan tidak akan menutup separuh wajahku seperti ini.” Perempuan tersebut adalah saudara Husayn Ibnu Mansyur Al-Hallaj, sang shufi martir; konon dikatakan bahwa dia pun mengklaim kesetaraan dengan laki-laki dalam perjuangan spiritual.
Jakarta beberapa tahun yang lalu. “Saya gemar sekali mengenakan jilbab panjang”, ujar Miranda Risang Ayu. “Satu hari saya bercermin, saya melihat lipatan jilbab yang saya sentuh bergerak gemulai.” Baginya, hijab—selain berfungsi untuk menutup aurat—juga dapat membebaskan apa yang harus dibebaskan di mana dia dapat menemukan pengganti dari kegemulaian tubuh perempuan pada lipatan-lipatan jilbab. Ide pemaduan antara estetika kain dan “gerak” lain itu ditemukannya setelah ia sering mendatangi berbagai kelompok tashawwuf. Maka berputar-putarlah para perempuan berhijab panjang yang menarikan tarian kreasinya, tarian yang sekilas mirip dengan tarian para darwisy dari thariqah Mawlawiyyah. Begitulah, penggunaan hijab umumnya didasarkan pada suatu konsep keagamaan serta pemahaman personal akan konsep tersebut. Sudah sejak zaman Rasulullah Saw hijab menjadi isu yang cukup sensitif bagi kaum muslimin, misalnya seperti yang
terjadi pada pertengahan bulan Syawwal tahun kedua Hijriah. Peristiwa yang bermula dari ulah beberapa orang Yahudi ketika memaksa seorang muslimah untuk membuka tutup wajahnya, namun ditolak perempuan tersebut. Namun, ketika muslimah tersebut hendak pergi, tanpa disadarinya, salah seorang dari para laki-laki Yahudi tersebut mengaitkan ujung jilbabnya hingga tersingkaplah pakaian bagian punggungnya. Muslimah itu menjerit-jerit ketika menyadari kejadian itu, sementara para lelaki Yahudi tersebut tertawa-tawa melihat kejadian itu. Pada saat itu, seorang laki-laki muslim melihat kejadian itu dan langsung membunuh laki-laki Yahudi yang melakukan perbuatan tersebut, tapi kemudian ia balik dikeroyok dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang ada di sekitarnya. Ketika peristiwa ini sampai ke telinga Rasulullah Saw, beliau pun memerintahkan kaum muslimin untuk bersiaga perang mengepung kaum Yahudi tersebut, namun atas desakan Abdullah bin Ubay maka Rasulullah Saw pun, dengan marah, hanya mengusirnya saja. Peristiwa itu kemudian
tercatat dalam sejarah sebagai pengkhianatan pertama kaum Yahudi (yaitu Bani Qainuqa’) terhadap umat muslimin.
Jilbab atau kerudung, dalam berbagai bentuk dan nama, sebenarnya telah memiliki sejarah yang lebih tua dari zaman Rasulullah. Dalam Taurat, misalnya, dikenal pula istilah yang semakna dengan jilbab, yaitu tiferet; sedang dalam Injil terdapat istilah redid, zammah, re’alah, zaif, dan mitpahat.[1]
Bukan tidak mungkin bahwa istilah serupa apabila ditelusuri lebih jauh akan ditemukan juga dalam agama-agama lain yang diturunkan ke muka bumi ini, seperti Hindu dan Budha, karena pakaian, bagaimana pun, mewakili suatu tanda atau simbol spiritual keagamaan. Namun, tetap harus diingat bahwa senantiasa tercipta jarak atau keterpisahan antara tatanan nilai yang hakiki dengan pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari secara luas. Berkaitan dengan penggunaan jilbab atau kerudung ini, Epstein, seorang antropolog, mengatakan, Tradisi wanita menghijabi diri mereka ketika mereka bepergian dalam masyarakat umum telah sangat lama (dilakukan) di negeri timur. Barangkali rujukan pertamanya dapat ditemukan dalam kodeks bangsa Assyria, yang mengatur supaya para istri, anak perempuan, janda, ketika bepergian ke luar rumah, harus berhijab.[2]
Dalam tulisan ini, secara global, sejarah hijab akan dicoba untuk dikaji dengan pengkategorian secara arkeologis dari mitologi, teologi hingga ideologi, di mana ketiga kategori arkeologis ini, pada akhirnya, secara tidak langsung mewakili simtom dari suatu zaman yang berbeda-beda.
Seputar Permasalahan Jilbab dan Pengertiannya
Kata hijab berasal dari kata hajaba yang berarti menyembunyikan dari pandangan atau juga dinding pemisah, sedangkan dalam konteks yang luas (hingga hari ini) hijab sering dikaitkan dengan penutupan aurat secara bersahaja oleh perempuan Muslim yaitu berupa jilbab. Persoalan jilbab memang tidak sederhana sebagaimana tidak sederhananya pula makna dari istilah tersebut bagi setiap orang. Secara harfiah, jilbab berarti pakaian yang luas atau lapang dan dapat menutup aurat perempuan, kecuali muka dan kedua telapak tangan hingga pergelangan saja yang ditampakkan. Jilbab adalah bentuk mashdar dari akar kata jalaba yang berarti “membawa” atau “menghimpun”, sedang bentuk jamaknya adalah jalâbîb yang berarti baju kurung (auter garments atau juga mantle dan cloak) yang dapat menutupi seluruh anggota badan—di dunia Arab lebih dikenal dengan jalabiyyah; selain itu juga tajalbaba yang berarti “membajui”. Adapun Lisânul ‘Arab mendefinisikan jilbab sebagai “…kain bagian luar atau penutup yang dililitkan pada bagian atas pakaiannya untuk menutupi dirinya dari kepala hingga ujung kaki. Jilbab tersebut benar-benar menyembunyikan tubuhnya.”[3]
Sedangkan dalam al-Qamus dikatakan jilbab merupakan pakaian yang lebar, yang biasa dipakai untuk menutupi pakaian (dalam) mereka dan menutupi seluruh tubuh (kecuali yang boleh ditampakkan). Ibnu Hazm menuliskan bahwa “Dalam bahasa Arab…jilbab merupakan kain bagian luar yang menutupi seluruh tubuh. Sepotong pakaian yang terlalu kecil untuk menutupi seluruh tubuh tidak dapat disebut sebagai jilbab.”[4] Adapun, sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin Umar, jenis-jenis pakaian perempuan dalam vocabulary Arab
pada masa Raulullah dikenal dengan beberapa istilah, yaitu Khimar, pakaian yang khusus menutupi bagian kepala, dir’, pakaian yang khusus menutupi bagian badan, niqab dan burq pakaian yang khusus menutupi daerah muka kecuali bagian bola mata, idzar, yaitu pakaian berjahit yang menutupi anggota badan sampai ke bagian kaki, rida’, pakaian luar yang menutupi bagian atas badan ke bagian bawah di atas idzar, dan jilbab yaitu kerudung yang menutupi bagian luar kepala, termasuk menutupi dir’ dan khimar.[5]
Beberapa peristilahan yang sering terkait dengan perkara hijab ini, yang di antaranya muncul dalam QS An-Nuur [24]: 31, adalah khimar, yang bentuk jamaknya adalah khumur, memiliki makna tudung atau selendang untuk penutup kepala. Kata ini merupakan bentuk turunan dari akar kata khamara yang berarti menutupi atau
menyembunyikan, dan terkait pula dengan kata khamr yang berarti anggur, atau secara harfiah “sesuatu yang menutupi atau mendera pikiran atau kepala.” ‘Awra, istilah bahasa Arab untuk pudendum seringkali diterjemahkan sebagai bagian pribadi atau bagian yang dapat menimbulkan malu apabila terlihat, sesuatu yang seharusnya ditutupi. Adapun merujuk kepada Lisanul ‘Arab istilah zina adalah termasuk “segala sesuatu yang memperelok”; istilah ini kemudian dipahami sebagai kecantikan alami maupun ornamen buatan yang berarti perhiasan, dandanan, dekorasi, pakaian, dan cara berpakaian. Kata ini berasal dari akar kata zana yang berarti berias, berdandan, berhias, menambahi ornamen, berpakaian, dan membuat seseorang (perempuan)
menjadi lebih cantik dan percaya diri. Ilyas Islam mencoba merumuskan apa yang termasuk zina yaitu wajah, tangan dan kaki serta apa pun yang tampak dari tubuh seorang perempuan karena faktor yang tak terkendali seperti hembusan angin, atau yang di luar keperluan.[6]
Kemudian istilah juyûb yang merupakan bentuk jamak dari kata jayb, sebuah turunan dari kata jawb atau memotong dan merujuk kepada belahan (dari pakaian) yang berarti bahwa tutup kepala harus menutupi leher dan menggantung di atas dada. Adapun kata kerja tabahraja menandai aktivitas menghiasi sesuatu, merapikan diri,menjadi tidak alami (palsu), berpakaian untuk diperlihatkan. Ini, menurut Ilyas, tidak hanya untuk membuat seseorang menjadi cantik, tapi juga untuk memamerkan dirinya, untuk mengembangkan daya tarik seseorang dengan tujuan untuk memancing hasrat. Ini tidak hanya merujuk kepada pakaian, tapi juga perilaku, seperti berjalan dengan langkah yang menggoda juga bertingkah genit atau yang tidak keruan. Hal ini terkait dengan kata bahraj yang berarti salah, lancung, palsu, memalukan, tidak layak,murahan, sampah, sedangkan oknumnya disebut dengan mubahraj, yaitu menyolok,mentereng tapi tidak berharga, terlalu glamour, banyak hiasan, suka pamer, rosokan,dan murahan.
Dalam QS Al-Ahzab [33]: 33 terdapat istilah tabarruj yang berarti “menampilkan kecantikan”, yang turunan kata lainnya adalah buruj yang digunakan dalam beberapa ayat di Al-Qur`an (4: 77; 15: 16; 25: 61; 85: 1). Buruj artinya “menara” karena visibilitasnya yang jelas, dan “visibilitas” yang jelas dari perempuan pun dapat
diakibatkan dari tipe pakaian yang digunakannya, cara mereka berjalan, atau cara mereka bertingkah laku. Dalam tafsir klasik tabarruj diartikan sebagai, pertama, mengigal atau berjingkrak-jingkrak secara menggoda; berjalan dengan cara yang seksi; mendandani diri sendiri secara lengkap; kedua, bercumbu-cumbuan, berkelétah; dan, ketiga, berias, memperlihatkan dandanan, memamerkan daya tarik tubuh.
Tabarruj juga termasuk membuka tudung kepala, mengikatkannya ke belakang yang berlawanan dengan diikat ke depan, yang mengekspos leher, kalung, telinga dan anting-anting yang dikenakannya. Dalam pengertian umum tabarruj berarti seorang perempuan yang memperagakan dirinya sendiri di hadapan publik; termasuk gaya berjalannya yang tak tertutup dan menggunakan kain yang menyingkapkan lekuk tubuh, ornamen, make-up, dan sejenisnya.[7]
Lebih jauh lagi, dalam kaitannya dengan sejarah dunia Islam, Nasaruddin mencatat sejumlah penutup kepala yang dikenal dengan istilah-istilah yang berbeda di tiap-tiap bangsa, seperti misalnya istilah cadar yang lebih terkenal di Iran yang mana kata tersebut berasal dari bahasa Persi chador yang berarti “tenda” (tent). Dalam tradisi Iran cadar itu berarti “sepotong pakaian serba membungkus yang menutupi seorang wanita dari kepala hingga ujung kaki.”[8]
Sedangkan di India, Pakistan dan Bangladesh dikenal dengan istilah purdah yang berasal dari bahasa Indo-Pakistan, pardeh, yang berarti “gorden” (curtain). Istilah charshaf lebih dikenal di Turki untuk nama pakaian muslimah tersebut, milayât di Libya, abâya, serta kudung atau kerudung untuk daerah Indonesia, Thailand Selatan, Malaysia dan Brunei Darussalam.[9]
Beryl Causari Syamwil, yang termasuk generasi awal pemakai jilbab di Indonesia, mengamati bahwasanya di Indonesia busana muslim bukanlah tradisi baru karena sudah ada ketika pertama kali Islam datang, namun masih dalam proses untuk menutup aurat. Dia menunjuk selendang tipis yang dikenakan perempuan Indonesia
untuk menutupi sebagian rambutnya sebagai bukti dari proses menuju penggunaan jilbab dalam pemahaman seperti hari ini. Selain itu, Beryl juga menunjuk proses baju bodo, busana adat Bugis yang pada awalnya hanya berupa selembar sutra halus yang tembus pandang, namun kemudian menjadi tujuh lapis ketika pengaruh Islam masuk. Pada tahun 50-an para perempuan Bali masih banyak yang bertelanjang dada, namun
hari ini mereka telah menggunakan bebat sebagai penutup dadanya, dan, menurut Beryl lagi, di daerah-daerah Indonesia yang belum berpakaian tertutup penuh bisa jadi dikarenakan proses evolusinya terhenti oleh banyak faktor.[10]
Dari sini dapat dilihat bahwa pengertian masyarakat tentang batas aurat pun terus mengalami perubahan dari
aurat yang tadinya dibiarkan terbuka berubah menjadi tabu apabila terlihat, yang kemudian kembali kedalam bentuk yang lebih halus seperti yang sering terjadi pada saat-saat sekarang ini. Menurut Ahmad Mansyur Suryanegara pengaruh Islam tersebut akan lebih mudah dilihat pada busana pengantin dari berbagai suku yang memiliki pengaruh Islam cukup kuat.
Pertama, keindahan busana pengantin laki-laki dan perempuan yang terdapat unsur pengaruh lingkungannya, baik motif hiasan, bahan dan warnanya.
Kedua, unsur panjang di tiap daerah di Indonesia yang sangat bervariasi.
Ketiga, tudung kepala untuk laki-laki dan perempuan yang beranekaragam. Menurutnya, besar kecilnya pengaruh Islam berakar pada sebuah komunitas di Indonesia saat awal masuknya Islam terlihat dari sedikit banyaknya pakaian adat suatu daerah yang menutupi bagian tubuh manusia. Sedang mengenai jilbab Mansyur mengatakan bahwa itu adalah busana dengan ukuran yang mampu menutupi keburukan atau kekurangan tubuh serta tidak mengekspos perhiasan fisik.[11]
Pada kenyataannya, (tradisi) kerudung yang telah berkembang di Indonesia khususnya dan negara-negara Melayu pada umumnya, ternyata memiliki makna yang sepadan dengan istilah khimaar pada zaman Rasulullah Saw. Namun, “proses” menutup aurat tersebut sempat terhenti ketika Belanda dengan peraturan-peraturannya mewajibkan setiap siswi untuk menggunakan rok ke sekolah-sekolah hingga tak heran apabila
cukup banyak orang yang terkejut ketika isu jilbab dan baju kurung diangkat lagi ke permukaan. Mengenai hal ini Kees van Dijk mencatat bahwa Bangsa Belanda dan bangsa Eropa lainnya yang tiba di Hindia Belanda berkonfrontasi dengan bangsa Indonesia dalam hal gaya hidup Eropanya, termasuk dalam hal pakaian. Orang-orang Indonesia, yang telah berziarah ke pusat keagamaan Islam, dan orang-orang Muslim dari daerah pusat Islam lainnya, dari Saudi Arabia kini, Persia, Mesir dan India, memperkenalkan, mendorong, dan memodifikasi gagasan dan simbol religius berkaitan dengan cara bagaimana semestinya bagi seorang Muslim untuk berperilaku di masyarakat, termasuk norma-norma dalam berpakaian. Belakangan ini,
lajunya telah meningkat secara drastis dan tingkat persentuhannya menjadi semakin intens, namun konfrontasi antara tiga kompleks pemikiran utama, perilaku, dan pakaian—Barat, Muslim, dan Indonesia—telah lama berlangsung, semenjak kontak pertama antara dunia Barat dan Muslim. Di Indonesia, kontak dengan bagian-bagian dunia Islam lebih lama dari pada dengan daratan Eropa; orang-orang Muslim telah meninggalkan bekas lama sebelum orang Belanda dan Eropa hadir dalam situasi ini. Oleh karena itu, pilihan antara mengenakan pakaian yang berdasarkan aturan Muslim atau budaya pribumi telah berlangsung amat lama.[12]
Mitologi Hijab
Ada sebuah asumsi menarik mengenai asal-usul kerudung atau jilbab yang diungkapkan oleh Nasaruddin bahwa dalam beberapa literatur Yahudi penggunaan kerudung berawal dari peristiwa dosa asal (original sin) yaitu peristiwa ketika Hawa menggoda suaminya, Adam, untuk memetik dan memakan buah khuldi, buah terlarang, yang mengakibatkan mereka berdua menjadi berdosa dan terusir dari Surga. Akibat peristiwa itu, dalam Kitab Talmud, maka Adam dan Hawa pun mendapatkan kutukan berupa 10 penderitaan.[13]
Salah satu bentuk kutukan terhadap perempuan adalah bahwa dia akan mengalami menstruasi di mana sepanjang sejarah manusia menstruasi dianggap sebagai suatu simbol baik secara teologis maupun mitos, dan
dari sini pulalah para antropolog mengaitkan asal-usul penggunaan jilbab, yaitu dari menstrual taboo. Istilah menstruasi sendiri memiliki makna teologis[14], yaitu Kata menstruasi (mens) berasal dari bahasa Indo-Eropa. Akar katanya adalah manas, mana, atau men, yang juga sering menjadi Ma. Artinya, sesuatu yang berasal dari dunia gaib kemudian menjadi “makanan” suci (divine “food”) yang diberkahi lalu mengalir ke dalam tubuh dan memberikan kekuatan bukan hanya pada jiwa, tetapi juga fisik. Mana juga berhubungan dengan kata Mens (Latin) yang kemudian menjadi kata mind (pikiran) dan moon (bulan). Keduanya mempunyai makna yang berkonotasi kekuatan spiritual.
Dalam bahasa Yunani, Men berarti Month (Bulan).[15]
Menstruasi merupakan salah satu penderitaan kutukan yang harus dijalani oleh Hawa dan segenap kaumnya, karena itu perempuan yang sedang mengalami menstruasi dianggap sedang berada dalam suasana tabu dan darah menstruasinya (menstrual blood) dianggap sebagai darah tabu yang menuntut perlakuan khusus. Larangan melakukan hubungan seksual ketika seorang perempuan sedang menstruasi terdapat di hampir semua agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Bahkan di kalangan Yahudi dan Kristen ada kepercayaan bahwa beberapa jenis makanan tidak boleh disentuh pada saat seorang perempuan sedang menstruasi karena dikhawatirkan akan mencemari, terutama itu adalah makanan atau minuman yang mengandung alkohol. Tatapan perempuan yang sedang menstruasi memiliki semacam kemampuan tertentu untuk menimbulkan daya rusak Sang Mata Kejahatan. Sang Mata Kejahatan dapatmenyebabkan gagalnya panen, membusuknya makanan, dan sakitnya anak kecil.[16]
Kepercayaan akan menstrual taboo tersebut mengakibatkan munculnya berbagai macam tanda dan isyarat yang harus digunakan oleh perempuan pada anggota badan tertentu agar masyarakat dapat terhindar dari pelanggaran terhadap menstrual taboo. Mengenai tabu tersebut Franz Steiner juga Evelyn Red menjelaskan lebih jauh bahwa Istilah tabu atau taboo pada darah haidl…berasal dari rumpun bahasa Polynesia. Kata
ta berarti tanda, simbol (mark) dan kata pu atau bu adalah keterangan tambahan yang menggambarkan kehebatan (intensity), lalu diartikan sebagai “tanda” yang sangat ampuh (marked thoroughly)…Taboo juga sering diartikan dengan “tidak bersih” (unclean, impure), tetapi juga diidentikkan dengan kata “suci” (holy) dan “pemali” (forbidden). Tabu juga sering dikacaukan pengertiannya dengan sakral (sacred) dan profan… Menstrual taboo sudah menjadi istilah yang umum digunakan dalam buku-buku antropologi yang berbicara tentang persoalan menstruasi.[17]
Dari menstrual taboo tersebut lahirlah apa yang disebut sebagai menstrual creation berupa kosmetik, sisir, selop, sandal, sepatu, pondok haidl, kerudung dan cadar. Pada mulanya, kosmetik hanya digunakan oleh perempuan yang sedang menstruasi, dan terlarang bagi anak-anak yang belum menstruasi, orang yang sudah menopause, apalagi kaum laki-laki; kosmetik ini berfungsi sebagai isyarat tanda bahaya (signal of warning) agar tidak terjadi pelanggaran terhadap menstrual taboo serta sebagai penolak bala. Cara penggunaan kosmetik tersebut juga memiliki corak dan tata cara masing-masing pada setiap daerahnya. Selain itu, di beberapa kelompok masyarakat, perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh menginjakkan kakinya ke tanah tanpa alas kaki (selop, sandal atau sepatu) untuk mencegah polusi dan malapetaka. Bahkan di beberapa daerah alas kaki tersebut dibuat berat, berukuran kecil dan runcing agar perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa berjalan jauh ke mana-mana.
Kemudian, pondok haidl, suatu pondok yang dibangun jauh dari perkampungan dan dikhususkan untuk perempuan yang sedang menstruasi agar mereka tidak membaur dengan masyarakat, termasuk keluarga dekatnya sendiri. Adapun cadar (hood) pertama kali digunakan untuk wanita yang sedang menstruasi dan pengganti pondok haidl bagi perempuan dari kalangan raja atau bangsawan. Cadar tersebut berfungsi untuk menutupi pancaran mata terhadap cahaya matahari dan sinar bulan yang diyakini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan malapetaka bagi alam dan manusia.
Penggunaan kata “hut” dalam bahasa Inggris yang berarti “kerudung/cadar yang menutup bagian kepala sampai ke leher” dan kata hat yang berarti topi mempunyai kedekatan makna dan boleh jadi berasal dari satu akar kata dengan hut yang berarti “bangunan sementara” (temporary wooden house) bagi wanita yang sedang
menstruasi. Secara etimologis kata hut maknanya berkonotasi negatif, karena bisa juga berarti bangunan yang jelek (the house of rude construction). Sama dengan kata hood, selain berarti kerudung/cadar, juga berarti “penjahat” dan “buaya darat”. Karena itu, penggunaan dua kata yang disebut terakhir digunakan dalam konteks yang negatif pula.[18]
Dalam agama Yahudi, kemudian, bahkan muncul peraturan yang menyatakan bahwa … Para wanita yang bepergian ke muka umum dengan tanpa berhijab merupakan penyebab sah bagi tindakan penceraian, sebagaimana halnya dengan kekafiran.[19]
Mungkin karena itu pula maka Nur Veergin menunjuk ajaran agama lain, khususnya Kristen, sebagai penyebar penggunaan chador atau kerudung hitam panjang. Saya harus mengatakan bahwa berbagai kategori ini dipengaruhi oleh ajaran Kristen. Sebagai contoh adalah cadar. Dikatakan bahwa chador hitam mengerikan yang kian banyak terlihat di jalanan Istambul merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ajaran Islam, bagaimanapun itu sama sekali tidak berhubungan dengan Islam Turki. Kebiasaan itu datang dari Byzant (ajaran Kristen), ia datang dari Iran, tetapi ia jelas tidak diturunkan, tidak berasal dari budaya nasional Turki atau pun budaya Islam di Turki.[20]
Menurut Farzaneh Milani, perubahan dari pondok haidl menjadi jilbab adalah buah dari perjuangan perempuan bangsawan, namun tidak ada data yang pasti mengenai kapan peralihan itu terjadi. Sedangkan menurut Navabakhsh, jilbab sudah menjadi bagian dari tradisi pra-Islam, bahkan 500 tahun SM jilbab sudah menjadi pakaian kehormatan bagi perempuan bangsawan di Kerajaan Persia. Lebih jauh lagi dia menyatakan bahwa Semula Al-Qur`an sendiri tidak menetapkan kapan wanita harus dihijab dari lingkungan laki-laki. Kata hijab—dalam arti pengucilan wanita—tidak dikenal sebagai suatu fenomena sosial historis pada masa Rasulullah. Hijab ketika itu lebih sering diasosiasikan dengan gaya wanita kelas atas di kalangan masyarakat petani dan para pendatang, yang merupakan bagian dari tradisi pra-Islam di Syria dan adat di kalangan orang-orang Yahudi, Kristen, dan Sasania.[21]
Sedangkan Fatimah Mernissi menyatakan bahwa “jilbab dalam arti hijab, sebagai kesan untuk memisahkan wanita dari masyarakat tidak dikenal pada masa Rasulullah…[kecuali] …dua abad setelah Rasulullah Saw wafat, terutama setelah Kitab Fikih disusun (abad kedua Hijriah) dan setelah Islam meluas dan mengakomodir berbagai kultur dan mitos lokal, seperti bekas wilayah kerajaan Persi dan Romawi yang bersikap tegas terhadap penggunaan jilbab.” [22]
Hal yang serupa dikemukakan oleh Akbar S. Ahmed, bahwasanya, Meskipun hijab, chador atau bahkan purdah tidak terdapat di masa awal Islam menurut pendapat beberapa cendekiawan, seiring perjalanan waktu busana ini mulai dikaitkan dengan Islam. Kebiasaan ini terasimilasi bersamaan dengan penaklukan masyarakat Persia dan Byzantium dan dianggap mencerminkan semangat Al-Qur`an. Mungkin benar bahwa penutupan diri dan pemakaian cadar mencerminkan wanita kelas atas, wanita urban yang berusaha melindungi diri dari pandangan mereka yang berkeliaran di pasar ataupun ladang-ladang pertanian. Tetapi selama beberapa abad,
kebiasaan ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini menyebar ke bagian lain dalam masyarakat. Di kelompok-kelompok tertentu hal ini mendatangkan konsekuensi yang tidak menguntungkan. Wanita di kota-kota kecil dan besar sering terkurung di rumah-rumah kecil dengan kontak sosial yang terbatas dan karena itu terhalang dari kehidupan masyarakat.[23]
Pandangan bahwasanya jilbab itu berasal dari menstrual taboo sebagaimana dikemukakan oleh para antropolog di atas bisa jadi sebenarnya merupakan sebuah bentuk deviasi dari ajaran agama. Bahwa memang sudah biasa terjadi bagaimana sebuah ajaran agama yang dibawa oleh para Nabi atau Rasul pada awalnya memiliki makna serta kekuatan spiritual yang tinggi, jernih dan murni, karena masih diajarkan oleh tangan pertama secara langsung—tak ubahnya minum langsung dari mata air. Namun, setelah para Nabi atau Rasul tersebut meninggal, dan tidak ada pengganti yang memang ditunjuk untuk meneruskan dan menjaga ajaran tersebut, maka biasanya ajaran agama tersebut akan mulai terdeviasi menjadi suatu ritual tanpa spiritualitas, dan mulai muncul tambahan-tambahan di dalamnya. Kemudian, setelah beberap lama, biasanya ajaran tersebut akan terdeviasi lagi menjadi sesuatu yang sifatnya emosional, agama dengan wajahnya yang kaku atau aturan-aturan yang sifatnya menekan, tak bermakna, dan cenderung mengada-ada. Oleh karena itu, bisa jadi jilbab yang dianggap terlahir dari menstrual taboo tadi sebenarnya sebuah jejak yang terbaca oleh para antropolog pada fase ketiga dari deviasi suatu ajaran agama. Melihat bagaimana sebuah kerudung atau jilbab cukup sering muncul di berbagai belahan bumi yang memiliki jejak dari ajaran agama-agama besar, bukan tidak mungkin bahwa kerudung atau jilbab tersebut memang termasuk bagian dari ajaran agama di masa-masa awalnya dengan penyesuaian terhadap budayanya. Karakteristik alam dan budaya dari suatu bangsa tentunya akan sangat mewarnai bentuk dari ajaran dan aturan agama yang ada di wilayah tersebut, terutama dalam masalah perilaku orientasi seksualitas para lelakinya (terutama apabila dikaitkan dengan penggunaan jilbab, atau lebih luas lagi, cara menutup aurat bagi perempuan); sebagaimana Rasulullah Saw sendiri pernah bersabda bahwa “Cadar yang sesungguhnya terletak di mata kaum lelaki.”
Dalam hal ini, budaya sebenarnya lebih merupakan proses pemaknaan baik pada alam atau realitas eksternalnya, juga pada sistem sosial yang memiliki nilai-nilai adiluhung baik pada identitas maupun kehidupan sehari-hari. Namun, tetap harus ada suatu pembedaan yang tegas antara kebiasaan sehari-hari berupa bentukan yang cenderung bersifat banal (habitus)[24] dengan budaya (culture) sebagai cerminan jiwa yang
hakiki dari suatu suku bangsa serta mengandung nilai-nilai adiluhung, simbolik dan eskatologis. Budaya membedakan dirinya dengan alam untuk menetapkan identitas keberadaannya, lalu melegitimasi diri dengan membandingkannya kembali pada alam dan menetapkan dirinya sebagai “yang alamiah” lebih sebagai “yang kultural” itu sendiri. Alam, dengan begitu, merupakan realitas mentah yang melingkupi suatu masyarakat. Betapa pun tak tersentuhnya, “yang alamiah” adalah makna yang dibentuk oleh suatu budaya bagi alam. Dengan kata lain, “yang alamiah” merupakan produk budaya, sedangkan alam itu sendiri adalah pra-kultural.[25]
Hal ini nantinya akan terkait pula dengan orientasi seksual dari para laki-laki di tiap-tiap daerah; perilaku dan ketertarikan secara seksual terhadap perempuannya pun berbeda-beda, sehingga melahirkan tabu yang berbeda-beda pula namun tetap berada di seputar daerah erogen perempuan. Para perempuan di daerah gurun biasanya menggunakan bahan yang berlapis, menutupi wajah dan berbentuk terusan (untuk menghindari dehidrasi dan hilangnya panas tubuh) yang disesuaikan dengan kondisi alam, budaya, serta kebiasaan masyarakatnya. Sedangkan di daerah-daerah tropis yang biasanya cukup hijau dengan iklim yang sejuk, kebanyakan dari pakaian daerahnya sudah menutupi sebagian besar tubuhnya, dari mulai leher, lengan hingga
ujung kaki. Tidak seperti para perempuan di gurun, para perempuan di daerah tropis biasanya hanya menggunakan kerudung yang digulungkan di kepalanya, serta pakaian yang biasanya terdiri dari dua potong kain untuk tubuh dan bagian kaki; yang juga disesuaikan dengan kondisi alam, budaya dan kebiasaan masyarakatnya. Selain itu, untuk mengatakan bahwa jilbab terlahir dari mitos yaitu menstrual taboo sebenarnya kurang tepat, ketimbang dipandang sebagai deviasi dari suatu ajaran agama. Mitos, sebagaimana dikemukakan oleh Lévi-Strauss, sebenarnya merupakan suatu bentuk sapienza poetica (kebijakan puitis) dari masyarakat tradisional di mana mereka menyatakan cara pandangnya terhadap dunia lewat berbagai bentuk metafisik metafora, simbol, dan mitos-mitos. Itulah yang membedakan antara cara berpikir yang “ilmiah” dan yang “primitif.” Cara berpikir “ilmiah” bekerja dengan memilah-milah alam ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil dan semakin kecil; sebaliknya, berpikir “primitif” bersifat holistik, dan bertujuan untuk menemukan jalan bagi pengertian akan seluruh alam. Oleh karena itu, menstrual taboo bukanlah suatu “mitos” melainkan lebih merupakan suatu bentuk deviasi dari ajaran agama. Mitos, sebagai suatu cara berpikir, memiliki suatu makna yang lebih dalam daripada yang tampak secara fenomena, sedang perlakuan terhadap menstrual taboo tersebut lebih merupakan penafsiran harfiah yang kaku dan represif dari suatu ajaran agama yang pasti memiliki dimensi esoterik yang dalam dan agung. Namun dimensi esoterik ini seringkali sukar ditransmisikan
sehingga mudah terkubur dalam perjalanan waktu, terdeviasi oleh benak manusia yang cenderung membatasi ide-ide yang universal, yang kehilangan mata air ajaran agamanya (mitos pun sebenarnya dapat juga mengalami hal serupa). Namun, melihat bagaimana ajaran mengenai penggunaan jilbab tersebut ternyata diakomodir pula oleh kitab-kitab suci menandakan bahwa yang terjadi adalah deviasi bukan mitos. Akan
tetapi, dalam lintasan sejarah adalah sesuatu yang telah terpola di mana deviasi akan dikoreksi serta dimurnikan kembali untuk kemudian terdeviasi kembali, kemudian dikoreksi dan dimurnikan kembali, dan demikian seterusnya.
Teologi Hijab
Dalam Islam tak ada kaitan antara penggunaan jilbab dengan menstrual taboo (bahkan istilah yang terakhir sama sekali tidak dikenal), begitu pula perlakuan terhadap perempuan yang sedang menstruasi. Pada masa Rasulullah Saw, perempuan dari kalangan Yahudi apabila sedang mengalami menstruasi, maka masakannya tidak dimakan dan mereka tidak boleh bersama keluarganya di rumah. Kemudian datanglah seorang sahabat menanyakan perihal itu kepada Rasulullah Saw, dan beliau pun diam untuk beberapa saat, dan turunlah ayat yang berbunyi,
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran.”
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan
janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci,
maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orangorang
yang mensucikan diri.” (QS Al-Baqarah [2]: 222)
Kaum Yahudi pun terkejut mendengar turunnya ayat ini, terkejut melihat bagaimana hal yang selama ini mereka tabukan ternyata dianggap sebagai suatu hal yang alami (adzan), dan mereka pun bereaksi dengan mengatakan bahwa “apa yang disampaikan oleh laki-laki itu (Nabi Saw) adalah suatu penyimpangan dari tradisi besar kita.” Hal ini dilaporkan kepada Rasulullah Saw oleh Usaid Ibnu Hudhair dan Ubbad Ibnu Basyr, dan wajah Rasulullah Saw pun berubah karena tidak suka dengan reaksi kaum Yahudi tersebut. Kontak sosial dengan perempuan yang sedang mengalami menstruasi ini sering didemonstrasikan oleh Rasulullah Saw, misalnya, beliau pun minum dalam satu bejana dengan ‘Aisyah yang sedang haidh; selain itu beliau Saw pun sering menegaskan berulangkali dalam hadits-haditsnya seperti, Segala sesuatu dibolehkan untuknya kecuali kemaluannya (faraj). (Al-Hadits) Segala sesuatu boleh untuknya kecuali bersetubuh (al-jimâ). (Al-Hadits) Adapun penggunaan hijab dalam ajaran agama Islam sebenarnya bermula dari usulan
‘Umar bin Khaththab r.a. sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits, ‘Aisyah r a. menceritakan, “Apabila para isteri Nabi hendak buang air pada malam hari, mereka pergi ke tanah lapang. Umar (bin Khaththab r.a.) mengusulkan kepada Nabi Saw supaya menyuruh para isteri beliau memakai hijab. Tetapi Rasulullah Saw
tidak berbuat apa-apa. Pada suatu malam Saudah binti Zam’a, istri Rasulullah, keluar waktu Isya, dan dia adalah seorang wanita yang tinggi perawakannya. Lalu Umar menyapanya, ‘Hai, kami mengenal engkau, hai Saudah!’ Dia menyapa karena sangat mengharapkan supaya turun ayat hijab. Memang sesudah itu turun ayat hijab.” (Al- Hadits)
Sesungguhnya, tidaklah mengherankan melihat bagaimana ‘Umar bin Khaththab r.a. telah mengusulkan penggunaan hijab tersebut karena Rasulullah Saw sendiri menyebutkan ihwal ‘Umar bin Khaththab dalam haditsnya, Sesungguhnya sebahagian dari umatku itu orang-orang yang disampaikan berita (muhaddits), guru dan ahli-ahli ilmu kalam. Dan sesungguhnya Umar itu sebahagian dari mereka. (Al-Hadits) Hal ini dapat dilihat pula pada Asbabun Nuzul dari beberapa ayat-ayat Al-Qur`an yang ternyata turun atas usulan atau juga membenarkan usulan dari ‘Umar bin Khaththab. Namun, tetap harus disadari bahwa turunnya ayat-ayat dalam Al-Qur`an bukan karena pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepada Rasulullah Saw, tersusun dari peristiwa-peristiwa yang kebetulan terjadi, atau bahkan atas usulan dari ‘Umar bin Khaththab. Permasalahan tersebut terlalu besar dan tidak relevan untuk dibahas dalam tulisan ini. Kembali ke permasalahan pakaian, pada kesempatan lain Rasulullah Saw pernah bersabda ihwal pakaian sebagai simbol dari Ad-Diin—yang lagi-lagi dilekatkan kepada ‘Umar bin Khaththab, Dari Abu Sa’id Al-Khudri r.a., Katanya Rasulullah saw bersabda: “Aku bermimpi dalam tidurku, seolah-olah aku melihat manusia dihadapkan kepadaku. Baju (qamis) mereka di antaranya ada yang sampai ke susunya dan ada pula yang kurang dari itu. Kulihat juga Umar bin Khaththab dihadapkan kepadaku, sedangkan bajunya dihela-helanya
karena sangat dalam.” Para sahabat bertanya: “Apakah takwil mimpi Anda itu?” Jawab Nabi Saw: “Ad-Diin.” (Al-Hadits)[26]
Bahwa Ad-Diin didirikan di atas iman dan amal shalih, yang mudahnya, biasa juga diistilahkan dengan Taqwa, oleh karena itu qamis ‘Umar bin Khaththab r.a. melambangkan ketaqwaannya, sebagaimana hadits lainnya menyebutkan Iman itu tidak berpakaian. Pakaiannya ialah taqwa, perhiasannya ialah malu dan buahnya ialah ilmu. (Al-Hadits)
Hadits ini juga menjadi penjelas dari ayat Al-Qur`an yang berbunyi, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa (libasut taqwa) itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. “ (QS Al-A’raaf [7]: 26)
Adapun untuk perkara iman sendiri, yang akan menjadi fondasi terdasar dalam permasalahan jilbab nantinya, dibahas secara kompehensif oleh Imam Al-Ghazali r.a.[27]
Bahwa iman itu berwujud cahaya, tempatnya dalam qalb, dan fungsinya untuk menerima petunjuk yang akan membimbing manusia menuju Shirathaal Mustaqiim (jalan orang-orang yang dianugrahi ni’mat) dan mengerjakan amal shalih. Ada perbedaan kualitas dan entitas yang sangat signifikan antara mu’min dan al-mu’min baik dalam Al-Qur`an maupun Al-Hadits, seperti dalam bahasa Inggris yang membedakan antara book (yang bisa merujuk ke buku secara umum) dan the book (yang merujuk pada suatu buku tertentu saja). Apabila seseorang telah mendapatkan cahaya iman maka dia disebut sebagai mu’min (atau mu’minaat), sedang apabila orang tersebut bertaqwa (bentukan dari iman dan amal shalih; dan orangnya disebut sebagai muttaqiin, sedang jenjang tertingginya adalah al-muttaqiin) maka dia disebut sebagai al-mu’min (atau al-mu’minaat), dan seminimal-minimalnya jenjang almu’min adalah shalihiin.[28]
Selain itu, al-mu’min merupakan orang-orang yang telah dianugrahi rahmat—minimal rahmat pertama[29]—sehingga digelari pula sebagai al-muthahharuun (QS Al-Waaqi’ah [56]: 79), dan mengenai itu Rasulullah Saw dalam salah satu haditsnya bersabda,
“Jika Allah telah memberimu rahmat, maka rahmat itu harus ditunjukkan di dalam hidupmu.” Mereka bertanya kepada beliau Saw, “Bagaimana rahmat Allah itu harus ditunjukkan?” Beliau menjawab, “Dengan berpakaian yang bersih, berbau harum, memperputih rumah, menyapu halaman rumah, dan menyalakan lampu sebelum
terbenam matahari sehingga akan menambah keindahannya.”[30] (Al-Hadits)
Rangkaian ayat Al-Qur`an dan Al-Hadits di atas berfungsi untuk menjelaskan aspek-aspek mendasar pembentuk landasan dari syari’at Islam mengenai hijab serta subyek yang ditujunya, sehingga ayat mengenai hijab tersebut dapat lebih terpahami konteksnya.
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri almu’miniin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Ahzab [33]: 59)
Tidak ada dosa atas isteri-isteri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (QS Al-Ahzab [33]:55)
Katakanlah kepada al-mu’minaat: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan dalam kaumnya, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai al-mu’miniin supaya kamu beruntung. (QS An-Nuur [24]: 31)
Al-mu’minaat adalah suatu suri tauladan yang seharusnya ditiru oleh para mu’minaat, keberserahdiriannya, ketaqwaannya, tingkah lakunya, bahkan hingga cara berpakaiannya. Oleh karena itu maka Rasulullah Saw pun dalam hadits-haditsnya menganjurkan Barangsiapa meniru-niru tingkah laku suatu kaum maka dia tergolong dari mereka. (Al-Hadits)
Manusia itu menurut agama temannya. Maka hendaklah diperhatikan oleh seseorang kamu akan orang yang akan diambil menjadi teman. (Al-Hadits) Teman duduk yang shalih adalah seumpama orang yang mempunyai kesturi. Jikalau ia tidak memberikan kepadamu dari kesturinya, niscaya engkau akan memperoleh bau harumnya. (Al-Hadits) Itulah sebabnya Rasulullah Saw pada saat itu melarang pakaian yang melewati mata kaki, karena itu mencerminkan kesombongan keagamaan, sehingga seolah-olah sang pemakai adalah orang yang agamanya sebagus Umar, sementara Umar r.a. secara jasadiah hanya mengenakan pakaian penuh tambalan. Seperti itu juga hikmah dari larangan Rasulullah Saw tentang pemakaian sutra dan emas, karena pakaian itu adalah pakaian laki-laki penghuni surga. Karena itu permasalahan keislaman seseorang, tidak hanya dilekatkan pada penggunaan jilbab secara fisik semata, tapi justru utamanya dalam peniruan akhlaq dan tingkah laku seorang al-mu’minaat hingga suatu hari bisa Allah Swt masukkan ke dalam golongan al-mu’min tersebut. Sebagaimana dicatat oleh Nasaruddin bahwa feminis seperti Fatimah Mernissi dan Riffat Hasan dapat saja “menggugat” keberadaan jilbab dan hijab dengan berbagai alasan kritis, namun dampak-dampak positif dari penggunaan jilbab tidak dapat mereka nafikan, seperti yang dikemukakan oleh Lama Abu Odeh bahwa Bagi seorang feminis, keragaman seksualitas berhijab dapat menjadi sangat menarik dan menjanjikan interaksi dan dialog yang kaya dengan para wanita yang berhijab. Posisinya secara bersesuaian akan menjadi lebih bernuansa dan beragam. Dari pada mengabaikan mereka sebagai musuh, ancaman, kesadaran yang salah, ia dapat memandang mereka sebagai komunitas wanita yang beragam, bercabang, nampak bersatu, yang berusaha untuk tetap bertahan dalam sebuah lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka sebagaimana pula baginya. Adalah sebuah keragaman yang mengundang percakapan antara ‘yang sama’, dari pada keterpisahan dari ‘yang lain’.[31]
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaan jilbab telah banyak dibahas dalam literatur-literatur yang membahasnya secara panjang lebar, namun, tetap dengan satu nafas yang sama bahwa jilbab tidak boleh menampilkan lekuk-lekuk tubuh perempuan, transparan, atau segala hal yang bisa mengundang syahwat bagi laki-laki yang melihatnya. Akan tetapi, ada hal-hal lain juga yang mesti dilihat secara hati-hati, misalnya perbedaan antara rapi dan bermegah-megah. Selain itu juga, predikat “berlebihan” tidak bisa serta merta ditempelkan terhadap segala bentuk yang dipandang (secara subyektif) mewah dan berkemilauan karena ada masalah kezuhudan (yaitu, tidak mengisi qalb dengan kecintaan terhadap dunia) yang seringkali tersembunyi, seperti Nabi Sulaiman yang memang kaya raya namun tidak mencintai kekayaan tersebut. Namun, secara umum Rasulullah Saw memberikan beberapa larangan mengenai cara berpakaian, di antaranya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits-hadits berikut, Rasulullah mengutuk laki-laki yang berpakaian seperti wanita dan wanita berpakaian seperti laki-laki. (Al-Hadits) Dari Ibnu Umar, Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada orang yang berpakaian terlalu dalam sampai terseret di tanah, karena kesombongannya.” (Al-Hadits)
Tiga orang tidak ditanyakan tentang mereka: laki-laki yang bercerai dari jama’ah orang banyak, laki-laki yang mendurhakai imamnya, lalu meninggal dalam berbuat maksiat. Maka kedua orang itu tadi tidak ditanyakan halnya. Dan wanita yang suaminya tiada bersama dengan dia dan telah dicukupkannya untuk wanita itu perbelanjaan dunia. Lalu wanita itu berhias di luar batas dibelakangnya. Maka tidak ditanyakan dari halnya. Dan tiga orang tiada ditanyakan halnya, yaitu laki-laki yang bertengkar dengan Allah tentang selendang-Nya. Dan selendang Allah itu ialah keagungan (al-kibria’). Sarung-Nya ialah, kemuliaan. Laki-laki yang dalam keraguan tentang Allah. Dan laki-laki yang putus asa daripada rahmat Allah. (Al-Hadits) Ada catatan menarik yang dibuat oleh Nasaruddin mengenai makna dari warna serta motif jilbab yang digunakan oleh perempuan kaum Badui (Bedouin women) di kawasan Timur Tengah, selain juga penggunaannya yang dilakukan pada momenmomen tertentu.
Perempuan yang sudah kawin menggunakan jilbab warna hitam dengan bahan ikat pinggang warna merah. Warna hitam pertanda simbol kelemahan manusia yang tidak luput dari kesalahan dan dosa, sedangkan warna merah adalah simbol penciptaan hidup (creation of life) yang diasosiasikan kepada darah menstruasi. Darah adalah simbol kehidupan (fertility symbol). Ketika terjadi pembuahan maka darah menstruasi akan terhenti dan terwujudlah sebuah janin, jadi motif warna merah mempunyai teologi tersendiri. Kalau sedang bepergian jauh mereka menggunakan jilbab hitam, dan pada acara-acara resmi, seperti pesta perkawinan, mereka menggunakan selendang hitam (black shawl/milaya).[32]
Sedangkan mengenai cara berpakaian, bentuk dan warnanya, sangat Rasulullah Saw tekankan aspek kesederhanaannyan di mana dalam ajarannya Islam senatiasa mengajarkan suatu jalan pertengahan, suatu keseimbangan. Selain wujud penampakan luar yang memang harus diperhatikan, aspek dalam atau nafs manusia jauh lebih utama untuk diperhatikan, dipelihara, disucikan, serta “diberi pakaian” (baca: taqwa) dan karenanya pakaian, khususnya hijab, sebenarnya lebih merepresentasikan permasalahan akhlak dan kesucian nafs dari sang pemakai yang menuntut kesimetrian pada aspek luar atau jasadiah dan tingkah laku. Hal ini bisa dilihat dari rangkaian hadits-hadits berikut ini,
Kebajikan semuanya dijadikan pada orang yang sedang (pertengahan). (Al-Hadits)
Pekerjaan yang terbaik ialah yang ditengah-tengah (sedang). (Al-Hadits)
Pakaian untukmu yang terbaik ialah yang berwarna putih, maka pakailah dan juga untuk mengkafani mayat-mayatmu. (Al-Hadits)
Sesungguhnya aku adalah hamba, aku memakai pakaian, sebagaimana yang dipakai oleh hamba. (Al-Hadits)
Bahwa Allah itu indah, yang mencintai keindahan. (Al-Hadits)
Bahwa Allah Ta’ala tiada memandang kepada rupamu dan hartamu. Sesungguhnya Ia memandang kepada qalb-mu dan amalmu. (Al-Hadits)
Wahai Tuhanku! Jadikanlah batiniyahku itu lebih baik dari zahiriyahku. Dan jadikanlah zahiriyahku itu yang baik!. (Al-Hadits)
Adapun dalam khazanah agama yang turun sebelum Islam ada juga anjuran untuk menggunakan penutup kepala bagi perempuan, misalnya seperti yang tertulis dalam Kitab Injil 1 Korintus 11: 2-16 sebagai berikut,
Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh berpegang pada ajaran yang kuteruskan kepadamu. Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan kepala dari Kristus ialah Allah. Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur
rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan gambaran dan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah.
Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? Bukankah alam sendiri menyatakan kepadamu, bahwa adalah kehinaan bagi laki-laki jika ia berambut panjang, tetapi bahwa adalah kehormatan bagi perempuan, jika ia berambut panjang? Sebab rambut diberikan kepada perempuan untuk menjadi penudung. Tetapi jika ada orang yang mau membantah, kami maupun Jemaat-jemaat Allah tidak mempunyai kebiasaan yang demikian.
Ideologi Hijab
Pada bagian awal telah diperlihatkan bagaimana jilbab dalam penggunaannya di masyarakat pra-Islam ternyata banyak diselubungi oleh mitos mengenai menstrual taboo, “mitos” yang sebenarnya lebih dekat kepada fenomena deviasi ajaran agama yang kemudian sangat merendahkan dan menindas perempuan. Adapun dalam Islam, penggunaan jilbab sama sekali tidak berhubungan dengan mitos menstrual taboo tersebut; jilbab dalam Islam merupakan representasi dari nafs al-mu’minaat yang telah dibersihkan (al-muhtthaharun), cahaya iman yang telah “diberi pakaian” taqwa, dan karenanya jilbab juga merupakan representasi dari akhlaq yang mulia, keihsanan. Namun, dalam perkembangan zaman berikutnya, era di mana unsur-unsur peradaban pun semakin kompleks dan sistem kemasyarakatan pun mengarah kepada globalisasi,
maka makna jilbab pun berkembang, bahkan hingga ke arah yang tak terduga, di mana—meminjam kata-kata Yi-Fu Tuan— Kita tidak dapat tetap bermoral dalam segenap makna kata tersebut, maupun (kita tak dapat) menjaga proyek dan kreasi-kreasi kita—termasuk perkakas, perumahan, perkotaan, dan pertamanan—kesungguhan moral dalam bentuk apapun, tanpa di suatu tempat dibelakangnya terdapat sebuah dukungan dari suatu model realitas religius yang dirasakan amat mendalam.[33]
Fenomena yang menarik dari maraknya penggunaan jilbab di Indonesia adalah bahwa gerakan tersebut justru dipelopori oleh mahasiswi di lingkungan perguruan tinggi non IAIN dan sekolah-sekolah menegah non pesantren sejak tahun 1980-an, sebagaimana dicatat oleh Kees van Dijk bahwa, Popularitas jilbab yang berkembang pesat sekali lagi telah mengangkat diskusi tentang apa yang merupakan tradisi Arab dan apa yang merupakan ajaran agama. Mereka yang membedakan kedua hal tersebut menemukan bahwa cadar jarang dikenakan oleh para mahasiswi di institusi-institusi perguruan tinggi Islam, namun mahasiswi di universitas sekuler kadang memilih untuk mengenakannya. Diperkirakan bahwasanya perwujudan Islam yang lebih ekstrim menemukan dukungannya pada mereka yang belum mendalami nilai-nilai Islam semenjak kanakkanak namun oleh mereka yang menemukan pentingnya Islam kemudian dalam kehidupan mereka.[34]
Gejala ini sebenarnya memiliki kaitan erat dengan Revolusi Iran 1979 yang menetapkan seluruh perempuannya—termasuk turis asing yang sedang berkunjung ke negeri itu—untuk memakai jilbab apabila akan bepergian keluar rumah. Bahkan pada saat itu, majalah-majalah berbahasa Inggris—seperti Yaumul Quds, Makjubah, dan lain sebagainya—menampilkan potret-potret perempuan anggun, terpelajar, pejuang
dan tokoh masyarakat dengan jilbabnya yang beraneka corak dan warna.[35]
Akbar S. Ahmed melihat bahwa proses kembalinya umat Islam kepada identitas primordial merupakan suatu cara memperoleh kembali martabatnya yang hilang. Seorang wanita mengenakan hijab atau seorang pria memelihara jenggot, keduanya berupaya mendapatkan kembali harga diri mereka. Mereka membuat pesan: dengan menonjolkan diri dan identitas mereka sendiri, mereka bermaksud menangkap kembali sedikit martabat yang secara mendalam diperlukan oleh semua manusia.[36]
Di Turki tahun 1839, misalnya, ketika rezim Nasionalis-Sekuler pimpinan Kemal Ataturk berkuasa diterapkanlah institusi Tanzimat (reorganization) di mana simbol-simbol dan identitas lokal kembali diperkuat, jilbab dianggap sebagai identitas asing yang harus dilepaskan, bahkan thariqah Mawlawiyyah pun dilarang melakukan ritual tarian berputarnya. Namun ketika rezim konservatif berkuasa, maka isu pertama yang diangkat adalah reislamisasi kaum perempuannya.
Sedangkan di Indonesia jilbab muncul dalam bentuk simbol yang memiliki banyak makna serta didasarkan pada pemahaman perempuan yang menggunakannya, bahkan Suzanne April Brenner berpendapat bahwa jilbab di Indonesia merupakan suatu peristiwa yang “seratus persen modern” di mana perempuan berjilbab adalah sebagai suatu tanda globalisasi, suatu lambang identifikasi orang Islam di Indonesia dengan umat Islam di negara-negara lain di dunia modern ini…(serta) …menolak tradisi lokal, paling tidak dalam hal berpakaian; dan sekaligus si pemakai juga menolak hegemoni Barat, dan hal-hal lain yang terkait dengannya di Indonesia.[37]
Namun, pada awalnya, jilbab di Indonesia hanya dianggap sebagai simbol busana kaum pinggiran, selain itu pemakaiannya pun sangat dibatasi oleh ruang dan waktu, misalnya pada saat melayat, shalat tarawih berjama’ah di masjid, atau pada hari raya baik Idul Fitri maupun Idul Adha; sedang perempuan yang mengenakan jilbab kemanapun ia pergi biasanya adalah seorang perempuan yang sudah berhaji (hajjah). Tentu saja, hari ini hal tersebut telah mengalami perubahan yang cukup drastis, sebagaimana dicatat oleh Akbar Hijab pada tahun 1980-an dan 1990-an telah menjadi mode dan menjadi simbol identitas Muslim yang diakui di kalangan gadis-gadis muda. Mesti ditegaskan bahwa rasa takut dan tekanan dari rumah harus dihadapi para gadis yang mengenakan busana itu. Banyak gadis yang tetap mengenakannya meski mendapat tentangan di rumah. Hal itu merupakan cara yang sopan untuk mengatakan: di sinilah saya berdiri dan saya bangga karenanya.[38]
“Jilbab bagiku adalah sebuah pembebasan. Karena dengan jilbab ini aku bisa beraktivitas di masyarakat secara leluasa tanpa harus dipandang rendah oleh orang lain,” ujar seorang sahabat, aktivis yang mengaku feminis. Feminisme biasanya memprotes ihwal terlalu dominannya kepentingan laki-laki dalam melahirkan teologi, misalnya, benturan dengan penggunaan jilbab yang diasumsikan sebagai penjara bagi kaum perempuan, namun hal itu dibantah oleh sahabat tadi ketika ditanya pendapatnya mengenai kontradiksi tersebut. Begitulah jilbab hari ini, pemaknaannya yang begitu beragam tampaknya lebih mendekati ke arah ideologis. Penelitian lapangan yang dilakukan oleh Karen W. Washburn, misalnya, memperlihatkan banyak sisi-sisi yang menarik mengenai landasan pemahaman personal akan penggunaan jilbab pada tiga orang perempuan yang bisa dianggap mewakili tiga dari sekian banyak bentuk “ideologi” jilbab.[39]
Dari tiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn, kasus Noor adalah kasus yang paling menarik di mana Noor kadang-kadang memakai jilbab dan kadang-kadang tidak, bergantung pada perasaannya serta keadaan. Bagi Noor jilbab hanyalah suatu cara berpakaian, bukan sebagai suatu simbol agama yang dikaitkan dengan suatu state spiritualitas tertentu (seperti yang telah diuraikan sebelumnya di atas). Selain itu Noor pun menyatakan dirinya sebagai seorang feminis. Pengalaman lainnya yang dia alami adalah pernah dikira sebagai WTS ketika pulang dari kampus malam hari, padahal dia sedang mengenakan jilbab. Pola pemahaman dan penafsiran terhadap jilbab seperti yang dilakukan Noor ini cukup banyak, dan bisa dikatakan sebagai suatu gejala yang biasa di kalangan aktivis yang bergelut dengan wacana. Suatu kesangsian semiotis terhadap jilbab dengan kesimpulan yang terlalu fatalis. Namun, ketiga studi kasus yang dikemukakan oleh Washburn tersebut bisa dikatakan sebagai kasus jilbab “serius” di mana ketiga responden yang diwawancarainya memiliki suatu konsep yang dipikirkan serta diyakininya. Pada kenyataannya ada juga fenomena lain dari jilbab yang dapat dikategorikan sebagai suatu fenomena gaya hidup pop, fenomena yang biasanya dikenal dengan nama ‘kudung gaul”, “jilbab lontong”, atau “jilbab trendi.” Perempuan yang mengenakan kudung gaul tersebut
biasanya selalu mengenakan jilbab pada saat bepergian keluar rumah—berbeda dari Noor—namun jilbab itu kemudian dikombinasikan dengan pakaian berupa sweater atau t-shirt yang “kekecilan” (body fit) sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya dan tergantung di atas pinggangnya, serta celana (jeans maupun katun) yang juga ketat (stretch atau hipster). Cara berpakaian ini memang sedang menjadi suatu trend fashion yang seringkali diidentikkan sebagai pakaian anak gaul. Oleh karena itu— berbeda dengan ketiga responden yang diwawancarai Washburn—cara pandang mereka terhadap jilbab sangatlah banal dan permukaan, selain itu dalam pergaulan pun mereka mengikuti etika yang berlaku pada komunitas anak gaul, seperti cara berpacaran, kebiasaan jalan-jalan di mal, ngeceng, mendatangi jumpa fans atau konser idolanya dan berteriak-teriak histeris, bahkan dalam beberapa kasus ada yang hingga hamil di luar nikah. Kudung gaul dalam hal ini bisa dikatakan sebagai suatu bentuk ideologi skizofrenik.
“Busana muslimah kian trendi,” begitu headline yang tertulis di suatu koran nasional dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya seperti yang terjadi pada tanggal 10 Januari 1996 di mana digelar peragaan busana dengan tema “Tendensi Busana Muslim” yang mengambil
tempat di Puri Agung, Hotel Sahid Jakarta dan memperagakan karya-karya dari 12 desainer. Pada saat itu, peragaan tersebut bisa dikatakan merupakan suatu terobosan baru, suatu pergelaran besar yang menyajikan keanggunan dan kemewahan busana muslimah yang kemilau, yang dapat membuat seorang ibu menangis karena kehabisan undangan seharga Rp. 45000 (suatu harga yang cukup mahal untuk saat itu). Acara ini merupakan suatu upaya adaptasi busana muslimah yang dulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan, sebagaimana layaknya peragaan fashion lainnya, hanya 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, sedang sisanya hanyalah untuk menarik perhatian saja.Atau paling tidak untuk melepaskan keinginan terpendam sang desainer yang diungkapkan lewat karya-karyanya yang “aneh”; suatu cara untuk menghindari kejenuhan akan model busana yang itu-itu saja;[40]
tentu saja kreasi-kreasi tersebut memang terlalu riskan untuk dikatakan memenuhi syarat-syarat digariskan dalam syari’at Islam. Fenomena lainnya adalah bahwa pada saat ini pun relatif lebih mudah untuk menemukan showroom busana muslimah dengan koleksi-koleksinya yang menarik. Harganya pun ada yang berkisar hingga ratusan ribu ke atas. Busana muslimah pun kini muncul dalam berbagai corak dan warna, bahkan juga dipadukan dengan berbagai corak etnik. Mengenai ini Keesvan Dijk mencatat, Kekayaan dan kerumitan juga tidak bebas dari pelanggaran-pelanggaran. Salah satu konsekuensi dari penekanan yang baru terhadap Islam adalah pengadopsian gaya busana Muslim—untuk pemakaian sehari-hari juga untuk peristiwa-peristiwa yang
lebih seremonial—dan gaya busana Muslim memperlihatkan… Rok-rok yang panjang dan kepala yang berhijab—hiasan jilbab Muslim yang bergaya banyak dicari—namun ajaran yang paling ketat mengenai bahan-bahan pakaian Muslim yang pantas tidak dijadikan sebagai sebuah hukum. Pakaian-pakaian berwarna-warni cerah, dan tidak selalu serba menyembunyikan. Muslimah di Indonesia, sebagaimana pernah dinyatakan dalam suatu pertunjukan semacam itu, ‘menginginkan busana yang menarik, nyaman, dan memungkinkan kebebasan gerak’. Pertunjukan busana Muslim diselenggarakan serangkai dengan pertunjukan ‘biasa’ lainnya, dimana pakaian yang sesuai dengan ajaran Islam dipertunjukkan sebagaimana juga dengan gaya-gaya lain
yang lebih berani…Meski demikian, pertunjukan busana Muslim merupakan sebuah indikasi pergeseran gradual menuju nilai-nilai Islam, sebagaimana popularitas ‘Muslim pop’, wahana para artis dan penyanyi yang telah berubah menjadi religius.[41]
Dalam kenyataannya memang gaya visual bisa menyatu dengan gaya hidup karena manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa, baik tiga dimensi maupun dua dimensi. Pada zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Peter York menyatakan bahwa dibanding dengan hari ini, orang
jaman dulu hidup dalam penjara gaya karena dalam masyarakat tradisi lama gaya visualnya relatif tidak banyak berubah. Adapun dalam sistem masyarakat modern batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional dengan cepat menghilang karena arus gelombang gaya hidup global melalui media sangat mudah untuk berpindahpindah tempat. Alvin Toffler menyatakan bahwa sekarang ini terjadi kekacauan nilai, yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan sehingga yang ada adalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai yang disebutnya sebagai subkultur (sebagai akibat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern). Toffler mendefinisikan gaya hidup sebagai, …alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka dengan subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun dari mosaik beberapa item, yaitu “superproduct” yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.[42]
Dalam perspektif ini, maka busana muslimah pun bisa dikategorikan sebagai sebuah gaya hidup yang menawarkan sebuah identitas sekaligus sarana untuk menghindari kebingungan dikarenakan begitu banyak pilihan. Namun, gaya hidup yang berkembang hari ini sangat beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh suatu masyarakat khusus. Dengan kata lain, semua individu adalah konsumer yang bisa memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri sesukanya sehingga terjadilah ketidakpastian akan nilai dan gaya hidup yang sebenarnya ditawarkan oleh busana muslim. Karena sistem “pasar gaya hidup inilah maka perubahan yang radikal dan ironis dalam idiom busana muslimah pun terjadi secara paradigmatik maupun sintagmatik. Hijab untuk bagian kepala biasanya berupa jilbab yang telah dijahit sedemikian rupa, namun secara paradigmatik dia bisa digantikan dengan sehelai kain entah berupa kain saja, taplak atau bahkan selimut (mengingat pada masa awal turunnya perintah jilbab ini banyak sekali kaum muslimin yang hidup sangat kekurangan) namun tetap dengan mengindahkan syari’at penutupan aurat. Sedang secara sintagmatik hijab biasanya terdiri dari khimar, dir’, niqab dan burq, idzar, rida’, dan jilbab. Selain itu, secara sintagmatik pula, warna hijab membentuk idiom yang memiliki makna-makna spiritual seperti warna hitam dan warna merah seperti yang telah diuraikan di atas. Warna-warna lain pun memiliki makna spiritual seperti warna putih--warna yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw—melambangkan kesucian nafs dengan keberserahdiriannya. Biru gunung lambang kehendak yang mantap, biru samudra lambang kebijaksanaan yang dalam, biru keungu-unguan lambang qalb yang rapuh
tanpa kesetiaan, kuning gading lambang kerinduan yang dalam akan perintah Tuhan, dan lain sebagainya.[43]
Sedangkan hari ini idiom hijab atau busana muslimah tersebut diubah secara paradigmatik. Jilbab, misalnya, diganti dengan sebuah topi yang menutupi rambut saja, atau ciput yang biasanya hanya menjadi bagian dalam dari jilbab, atau bahanbahan lainnya yang biasanya fashionable namun masih menampakkan bagian leher. Selain itu secara sintagmatik jilbab, misalnya lagi, dipadukan dengan sweater atau tshirt body fit ditambah celana atau jeans yang ketat (stretch atau hipster), plus kosmetik tebal dan parfum yang menyengat. Selain itu, pemilihan warna pun dikombinasikan hanya sebatas pertimbangan matching atau tidak, sebatas estetika pop
saja.[44]
Sebagaimana yang dicatat juga oleh Lama Abu Odeh, Dan ada pula mereka yang menggunakan warna-warni, malu-malu namun dengan berani, semakin menjadi lebih memasyarakat. Mereka mengenakan make-up dengan hijabnya. Mereka lebih kreatif, mengikuti gaya busana masyarakat, secara konstan berupaya melunakkan hijab. Mereka menciptakan beragam cara untuk mengikatkan scarf kerudung pada leher mereka, yang dengan sendirinya menjadi lebih berwarnawarni selain warna putih standar. Pakaian hijab yang longgar tiba-tiba menjadi sedikit lebih ketat, lebih berwarna, lebih berani dalam meniru busana Barat, bahkan jika hal
ini tidak secara eksplisit memperlihatkan bagian tubuh wnaita. Kita dapat pula memperhatikan mereka di jalan-jalan bercakap-cakap dengan pria, berjalan-jalan dengan mereka, menumbangkan pemisahan yang dikedepankan oleh hijab terhadap perbedaan jenis kelamin.[45]
Hal ini bisa dilihat pada kostum pramugari di berbagai penerbangan dunia Arab yang menggunakan kostum rancangan desainer-desainer Prancis yang tidak lagi mengindahkan norma-norma motif maupun bentuk tradisional yang penuh dengan makna-makna spiritual. Selain itu, desainer dalam pengungkapan fashionnya biasanya selalu berpindah-pindah dalam memilih bagian tubuh yang ingin ditonjolkannya, dan umumnya yang menjadi perhatian adalah daerah-daerah erogen, seperti dada, pinggang, paha, pantat, kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya yang selalu dikaitkan dengan kewanitaan. Prediksi Jean-Luc Godard luput ketika dia menyatakan “It may be that one has to choose between ethics and aesthetics, but whichever one chooses,
one will always find the other at the end of the road.”[46]
Berkaitan dengan hal ini Lama Abu Odeh mencatat, Andaikan kita dapat membekukan waktu tersebut dalam era 70-an, dalam upaya untuk memahami hubungan wanita dengan tubuh mereka, kita akan menemukannya
berlapis-lapis dan amat rumit. Dari satu sisi tubuh mereka nampak sebagai medan perang dimana perjuangan budaya masyarakat pasca kolonial berlangsung. Di sisi lain, busana Barat yang menutupi tubuh mereka membawa dengannya konstruksi kapitalis atas tubuh wanita: yang terseksualisasi, terobjektivikasi, terbendakan, dsb… Namun karena kapitalisme tidak pernah benar-benar menang dalam masyarakat pasca
kolonial, dimana ia berhasil tinggal bersama dengan formasi-formasi sosial prakapitalis (tradisionalisme), tubuh-tubuh para wanita ini juga secara simultan terkonstruksi secara ‘tradisional’: ‘terbendakan’, ‘termilikkan’, terteror sebagai wakil kehormatan (seksual) keluarga. Proses tinggal bersama (kohabitasi) dalam tubuh wanita dari konstruksi ganda ini (yang kapitalis dan yang tradisional) dialami oleh para wanita ini sebagai sesuatu yang senantiasa berselisihan. Yang awal seperti memaksa mereka untuk menjadi perayu, seksi dan seksual, sementara yang terakhir menjadi pemalu, konservatif dan aseksual. Di mana yang awal didukung oleh atraksi pasar (konsumsi komoditas-komoditas Barat), yang terakhir didukung oleh ancaman kekerasan (sang wanita amat disucikan, seringkali dengan kematian, jika ia mengorbankan kehormatan seksual keluarga).[47]
Fashion pada dasarnya adalah suatu antusiasme yang singkat terhadap sesuatu seperti pada gaya berpakaian. Gejolak tersebut datang dan pergi secara cepat dengan kekuatan tinggi, suatu phantasmagoria yang tak ubahnya musim dengan waktu sendiri. Selain itu, fashion pun merepresentasikan kecenderungan perilaku manusia yang berlangsung sangat singkat. Dalam masyarakat modern fashion merupakan suatu industri yang memutar faktor manusia dan modal yang kemudian menjadikannya sebagai suatu kebutuhan industri sehingga terbentuklah pola-pola yang berkaitan dengan perkembangan fashion. Penilaian terhadap suatu komoditi (dalam hal ini adalah busana muslimah) ditentukan oleh pola pikir masyarakat yang berkembang pada saat itu yang dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media sehingga mengembangbiakkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, makna-makna konotatif; inilah ideologi. Studi konotasi dalam gaya hidup pop diulas secara rinci oleh Roland Barthes dengan semiologi dengan mengamati pengkeramatan yang berhasil mengubah budaya borjuis kecil sehingga menjadi berkesan universal, menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “mitos-mitos” yang dibangkitkan oleh sistem tanda lebih luas yang membentuk masyarakat. Mitos-mitos menyelimuti hidup manusia dengan sedemikan halusnya justru karena mereka nampak benar-benar alami. Konotasi, meskipun merupakan sifat asli tanda, agar dapat berfungsi dia membutuhkan keaktifan pembaca. Dan Barthes pun membuat peta tentang bagaimana tanda bekerja.[48]
{1. Penanda
2. Petanda
Bahasa
{
3. tanda
I. PENANDA
II. PETANDA
MITOS
III. TANDA
Hal ini dijelaskan lebih jauh oleh Barthes sebagai berikut, Penanda-penanda konotasi, yang dapat kita sebut konotator, terbentuk dari tanda-tanda (kesatuan penanda dan petanda) dari sistem yang bersangkutan. Secara alamiah beberapa tanda dapat dikelompokkan bersama untuk membuat sebuah konotator tunggal—asalkan yang disebut terakhir tadi memiliki sebuah petanda konotator tunggal; atau dengan kata lain, satuan-satuan dari sistem terkonotasi tidak mesti memiliki ukuran yang sama dengan sistem yang tertandakan: fragmen-fragmen besar dari diskursus yang bersangkutan dapat membentuk sebuah satuan sistem terkonotasi
tunggal (inilah kasus, sebagai contoh, dengan nada suatu teks, yang tersusun dari sejumlah banyak kata, namun maka dari itu merujuk pada sebuah petanda tunggal). Bagaimanapun caranya ia dapat menutup pesan yang ditunjukkan, konotasi tidak menghabiskannya: selalu saja tertinggal ‘sesuatu yang tertunjukkan’ (jika tidak diskursus menjadi tidak mungkin sama sekali) dan konotator-konotator selalu berada dalam analisa tanda-tanda yang diskontinu dan tercerai-berai, dinaturalisasi oleh bahasa pemerlihat yang membawanya. Sedangkan untuk petanda konotasi, karakternya umum, global dan tersebar sekaligus; itu adalah, jika anda mau, sebuah fragmen ideologi. … Petanda-petanda ini memiliki suatu komunikasi yang amat dekat dengan budaya, pengetahuan, sejarah, dan melalui merekalah, demikian dikatakan, dunia yang melingkunginya menginvasi sistem tersebut. Kita dapat katakan bahwa ideologi adalah suatu form (dalam pemaknaan seperti Hjemslev) penanda-penanda konotasi, sementara retorika adalah form dari konotator-konotator.[49]
Pendek kata, konotasi merupakan aspek bentuk dari tanda, sedangkan mitos adalah muatannya. Penggunaan tanda satu persatu dapat mengurangi kecenderungan “anarkis” penciptaan makna yang tak berkesudahan, di sisi lain, namun keanekaragaman budaya dan perubahan terus-menerus membentuk wilayah petanda konotatif yang bersifat global dan tersebar. Ideologi, secara semiotika, adalah penggunaan makna-makna konotasi tersebut di masyarakat, makna tingkat ketiga, seperti tergambar dalam bagan berikut.[50]
Pengguna
Mitos dan Konotasi
Tanda
Ideologi
Signifikasi
Secara sekilas bagan tersebut mengisyaratkan bahwasanya tak ada satu pun aktivitas penggunaan tanda yang bukan ideologi, namun sebenarnya tidak seperti itu. Ideologi, pada hakikatnya, adalah suatu sistem kepercayaan yang dibuat-buat, suatu kesadaran semu yang kemudian mengajak (interpellation) kepada individu-individu untuk menggunakannya sebagai suatu “bahasa” sehingga membentuk orientasi sosialnya dan kemudian berperilaku selaras dengan ideologi tersebut. … Apa yang sebenarnya ditunjuknya adalah sebuah himpunan relasi-relasi yang ada, tidak seperti suatu konsep ilmiah, ia tidak menyediakan kita dengan sebuah alat untuk mengetahuinya. Dalam suatu cara khusus (ideologis), ia menunjukkan beberapa eksistensi, namun tidak memberikan kita esensinya.[51]
Ideologi berbeda dengan konsep sains, dan lebih berbeda lagi dengan kesadaran iluminatif. Kesadaran iluminatif berada pada tingkat kesadaran nafs yang merembes dari Ruh Al-Quds, sementara kesadaran ideologis berada pada tingkat kesadaran psikis, atau lebih tepatnya lagi di wilayah ego yang merupakan sistem representasi berupa image yang mengkonstruksi doxa (waham atau kesadaran semu) yang bersumber dari fakultas-fakultas tubuh.[52]
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, jilbab adalah pakaian yang diwajibkan bagi al-mu’minaat (dengan kesadaran iluminatifnya) sebagai representasi dari qalbnya yang tercahayai serta nafsnya yang tersucikan; sedang apabila jilbab masih berupa suatu sistem penampakan entah berupa fashion, simbol keagamaan, wacana (dekonstruksi) maupun kesadaran non iluminatif, maka pada tataran tersebut jilbab masih merupakan kesadaran ideologis yang sangat rentan terhadap permainan semiotis. Bukanlah keinginan akan objek-objek yang mendorong fetisisme komoditi, namun “keinginan untuk suatu kode… Inilah artikulasi mendasar dari proses ideologis: tidak dari proyeksi kesadaran yang teralienasi ke dalam berbagai superstruktur, namun dalam generalisasi pada seluruh tingkatan dari suatu kode struktural[53]…
[Maka ideologi] bukanlah suatu tipuan misterius dari kesadaran; ia adalah suatu logika sosial yang disubstitusikan untuk lainnya (dan yang menyelesaikan kontradiksi yang sebelumnya), sehingga mengubah definisi dari nilai itu sendiri[54]
Ia adalah sihir dari kode yang membentuk “dasar dominasi” …[Ideologi] nampak sebagai semacam selancar kultural berbuih di atas tepian pantai ekonomi.[55]
Permainan tanda dalam busana kini seakan menjadi perjuangan akan pluralitas dan identitas yang seringkali dilakukan dengan pencurian tanda dari suatu kode yang telah mapan dan diberi makna baru yang, tak jarang, ironis. Perjuangan di antara diskursus, definisi dan makna yang berbeda di dalam ideologi oleh karena itu pada saat yang sama selalu merupakan sebuah perjuangan di dalam signifikansi: sebuah perjuangan untuk pemilikan tanda yang meluas hingga bidang-bidang yang paling mendunia dari kehidupan sehari-hari… [objek-objek] dapat disesuaikan secara ajaib; ‘dicuri’ oleh kelompok-kelompok subordinat dan dibuat membawa makna-makna ‘rahasia’: makna-makna yang menyatakan, dalam kode, sebuah bentuk resistansi terhadap aturan yang menjamin subordinasi mereka yang berkelanjutan.[56]
Hijab sebagai busana muslimah kini mengalami deviasi dalam bentuk yang lebih halus; dia tidak lagi dikaitkan praktek takhayul yang naif, tidak pula dengan tabutabu, akan tetapi dengan image (semata) atau, dalam bentuk yang lebih sophisticated, wacana dekonstruksi (syari’at). Seperti yang juga terjadi pada Hippies, Punk, dan lainnya, jilbab pun tidak terlepas dari sentuhan “Raja Midas” kapitalisme yang mengubahnya menjadi kode-kode komoditi yang bebas dikonsumsi. Misalnya dalam acara-acara keagamaan di televisi, setelah syarat-syarat utama sang presenter terpenuhi—cantik, terkenal, artikulatif dan memiliki image ramah dan riang—maka kemudian dilengkapilah dengan hijab sebagai kode acara tersebut (hal serupa tidak selalu “diberlakukan” kepada presenter laki-laki). Pada kesempatan lain, bisa saja sang presenter kemudian tampil di acara yang bernuansa pantai atau kolam renang dengan tuntutan swimsuit atau bikini sebagai kodenya. Hal ini menjadi sesuatu yang umum karena pakaian cenderung dipakai sebagai representasi ideologi yang seakan
dijajarkan dalam suatu etalase, dalam suatu “demokrasi selera” dari sekian banyak tawaran pilihan gaya hidup yang disediakan; dan, terutama dalam “dunia gemerlap”, hijab hanyalah salah satu dari sekian banyak daftar pakaian yang harus dikenakan dalam menjalani profesi sebagai “tukang pesta” (baca: selebritis).
Permainan semiotis dari simbol-simbol keagamaan tidak hanya terjadi pada hijab saja, contoh lainnya adalah seperti penggunaan peci haji yang secara sintagmatik dipadukan dengan kode busana gaul lainnya yang, tentu saja, menghilangkan image spiritualitasnya, dan digantikan dengan image yang baru sama sekali. Atau janggut
yang pernah terdeviasi menjadi simbol dari para penganut islam fundamentalis, kini dijungkirbalikkan menjadi kode milik anak gaul dengan cara diberi warna-warna yang menyolok. Makna-makna kebudayaan yang adiluhung dan dalam tampak terlalu canggih untuk bisa dipahami oleh gaya hidup pop (habitus), apalagi makna-makna spiritual. Bahkan dengan lantangnya sebuah iklan meneriakkan “Saya mungkin tidak mengerti makna kehidupan. Tapi jangan katakan bahwa saya tidak tahu bagaimana menikmatinya.” Makna adalah masalah bagi semangat gaya hidup pop, sesuatu yang secara superlatif digambarkan oleh Baudrillard bahwasanya Tidak ada kesejatian objek, dan denotasi tidak akan pernah lebih dari sekedar konotasi-konotasi yang paling molek…. Fungsi(onalitas) bentuk-bentuk, objek-objek, menjadi lebih tak terpahami, tak terbaca, tak terhitung, setiap hari.[57]
Barthes, yang ingin menghancurkan gagasan bahwa tanda itu bersifat alami, pernah menganalisis bagaimana kaitan antara pakaian, tabu dan tanda yang ingin dikomunikasikan oleh si pemakai kepada masyarakat. Dia mengemukakan bahwa tabu-tabu pada gaya berpakaian bukanlah suatu batasan akan kebebasan manusia,
melainkan tabu itu memperingatkan bahwa jenis-jenis pakaian tertentu akan menciptakan suatu citra diri sang pemakai dalam pandangan orang lain. Orang bisa saja mengabaikan peringatan ini, namun kemudian dia harus menjalani konsekuensi dari citra yang diciptakannya di dalam benak-benak orang lain yang melihatnya. Tak
jarang bahwa citra yang diciptakan dari suatu gaya berpakaian yang asing biasanya memang bertujuan untuk menarik perhatian orang lain, seperti gaya punk yang “menantang” orang lain dengan anting, peniti, rantai dan kalung anjing, serta gembok. Atribut-atribut tersebut sangat riskan untuk menimbulkan rasa sakit bagi para
pemakainya, sangat mudah bagi orang lain untuk menyakitinya dengan memegang dan menarik atribut-atribut tersebut dari tubuh mereka, tapi pada kenyataannya tak ada orang yang iseng melakukannya. Dalam hal ini, kudung gaul tampaknya secara terang-terangan ingin mengajukan suatu citraan mengenai modernitas yang bersatu dengan religiusitas, atau suatu teka-teki yang memaksa masyarakat untuk mencari kaitan antara religiusitas dan keseksian yang mereka gabungkan dalam gaya pakaiannya. Barthes mengajukan bahwa manusia itu senantiasa menyadari efek dari cara berpakaiannya terhadap orang lain, namun mereka selalu mencoba berpura-pura bahwa cara mereka berpakaian itu sangat alami dan spontan. Mereka sebenarnya
mengekspresikan kesadaran, pilihan yang secara gaya hidup telah ditentukan dan cara mereka ingin dilihat oleh orang lain.
Lama Abu Odeh pun pernah memberikan ilustrasi bagaimana dengan berjilbab seorang perempuan dapat terhindar dari pelecehan seksual (sexual harassment), terlindung dari perkataan dan perlakuan yang tidak senonoh terhadap dirinya dibanding dengan perempuan yang berpakaian “terbuka” seperti yang dikemukakannya bahwa Kesediaan seorang wanita untuk mengemukakan keberatan terhadap gangguan pria
sangatlah berbeda ketika ia berhijab. Rasa ‘untuk tidak tersentuh’ dari tubuhnya biasanya lebih kuat dari pada seorang wanita yang tidak berhijab.[58]
Namun hal itu ternyata tidak berlaku bagi para perempuan pengguna kudung gaul dikarenakan mereka masih menonjolkan daya tarik tubuhnya kepada laki-laki (di samping kode-kode gaul yang digunakannya dalam berinteraksi secara sosial) yang secara otomatis menghilangkan “rasa segan” terhadap perempuan berjilbab pada umumnya untuk kemudian mereka pun cenderung diperlakukan sama dengan perempuan yang berpakaian “terbuka” lainnya.
Penutup
Tidak perlu merangkai kata-kata hingga menjadi kalimat demi mewakili ide, juga tidak perlu membicarakanya melalui alat-alat suara demi menyampaikan sebuah maksud, adalah tubuh dan segala sesuatu yang dipakaikan ke tubuh yang akan membentuk “kata-kata” atau alat untuk menyampaikan ide. Pakaian adalah ekspresi dari suatu jalan hidup, sedang hijab, khususnya, merupakan representasi spiritualitas. Namun, simbol, bagaimanapun, dapat dipandang sebagai suatu entitas kosong yang bisa diisi dengan petanda apapun. Oleh karena itu, Washburn pun mengkategorikan jilbab sebagai personal symbol yang membawa makna baik di tingkat personal maupun kebudayaan (dan habitus) karena tidak semua orang memakainya.[59]
Secanggih-canggihnya semiotika membeberkan wacana jilbab tetaplah sulit untuk bisa mewakili keseluruhan fenomena jilbab yang ada hari ini karena hal tersebut selalu berkaitan kepribadian si pemakai dan pemaknaan subyektifnya. Jilbab dalam basis teologinya kini senantiasa berada dalam dilema ketika berhadapan dengan media dan gaya hidup pop, ketika berhadapan dengan persimpangan jalan antara nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai gaul. Tampaknya pola sejarah manusia memang berjalan ke arah yang semakin halus. Tak ada lagi perbudakan manusia secara fisik di dunia ini, yang kemudian berganti pola menjadi apa yang biasa dikenal sebagai hegemoni. Tak ada lagi fetishisme terhadap berhala, berganti menjadi fetishisme terhadap komoditi dan citra yang dikandungnya. Begitu pula halnya dengan hijab sebagai simbol keagamaan, deviasi yang dialaminya bukan lagi berupa takhayul-takhayul yang naif, tabu-tabu yang menekan perempuan, tapi bergerak ke arah yang semakin halus berupa deviasi semiotik atau pembacaan berbasis wacana yang semakin sophisticated. Dalam garis tipis halus dan licin itulah kini manusia diuji dan disaring ihwal kemurnian niatnya dalam mencari Tuhan.
Catatan Kaki:
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Lihat Nasaruddin Umar, (1996): Antropologi Jilbab, dalam Ulumul Qur’an, no. 5, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat bekerjasama dengan Pusat Peranserta Masyarakat, hal. 36.
[2] Epstein, Louis M., (1967): Sex, Laws and Customs in Judaism, Ktav Publishing House, Inc.: New York, hal. 36.
[3] Ilyas Islam, The Hijâb in the Qur’ân, sebuah artikel dari internet.
[4] Ibid.
[5] Nasaruddin (1996), dikutip dari Abdul Halim Abu Syaqqah, Tahrir al-Ma’rah fi ‘Ashr al-Risalah, Juz IV, Darul Qalam lil-nasyr wal-Tauzi’: Mesir, hal. 54.
[6] Ilyas, op.cit.
[7] Ibid.
[8] Farzaneh Milani, (1992): Veils and Words: The Emerging Voices of Iranian Women Writer, Syracuse University: New York, hal. 20.
[9] Ibid., hal. 37.
[10] Lihat Beryl Causari Syamwil dalam Busana Muslimah kian Trendi, Republika, Minggu, 28 Januari 1996, hal. 4.
[11] Ahmad Mansyur Suryanegara, (1991): Membudayakan kembali Libasut Taqwa di Indonesia, Diskusi Busana Muslimah, Festival Istiqlal 1991, 29 Oktober, Hotel Borobudur Intercontinental, Jakarta.
[12] Dijk, Kees van, (1997): Sarong, Jubbah, and Trouser, dalam Henk Schulte Nordholt (ed.): Outward Appearances: Dressing State & Society in Indonesia, KITLV Press: Leiden, hal. 43.
[13] Nasaruddin Umar, (1995): Teologi Menstrual: Antara Mitologi dan Kitab Suci, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, no. 2, vol. VI, Lembaga Studi Agama dan Filsafat & Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Lengkapnya penderitaan itu adalah sebagai berikut, bahwa bagi Adam beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:
1. Sebelum terjadi kasus pelanggaran (spiritual decline) postur tubuh laki-laki lebih tinggi dari pada bentuk normal sesudahnya.
2. Laki-laki akan merasa lemah ketika ejakulasi.
3. Bumi akan ditumbuhi banyak pohon berduri.
4. Laki-laki akan merasa susah dalam memperoleh mata pencarian.
5. Laki-laki pernah makan rumput di lapangan rumput, tetapi Adam memohon kepada Tuhan agar kutukan yang satu ini dihilangkan.
6. Laki-laki akan memakan makanan dengan mengeluarkan keringat di alisnya.
7. Adam kehilangan ketampanannya yang menakjubkan yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
8. Ditinggalkan oleh ular yang sebelumnya telah menjadi pembantu setia laki-laki.
9. Adam dibuang dari taman Surga dan kehilangan status sebagai penguasa jagat raya.
10. Laki-laki diciptakan dari debu dan akan kembali menjadi debu. Ia ditakdirkan untuk mati dan dikubur.
Sedang bagi Hawa beserta seluruh kaumnya kutukannya adalah:
1. Wanita akan mengalami siklus menstruasi, yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa.
2. Wanita yang pertama kali melakukan persetubuhan akan mengalami rasa sakit.
3. Wanita akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anaknya yang membutuhkan perawatan, pakaian, kebersihan, dan pengasuhan hingga dewasa. Ibu merasa risih manakala pertumbuhan anak-anaknya tidak seperti diharapkan.
4. Wanita akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri.
5. Wanita akan merasa tidak leluasa bergerak ketika kandungannya berumur tua.
6. Wanita akan merasa sakit pada waktu melahirkan.
7. Wanita tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki.
8. Wanita masih akan merasakan hubungan seks lebih lama sementara suaminya sudah tidak kuat lagi.
9. Wanita sangat berhasrat melakukan hubungan seks terhadap suaminya, tetapi amat berat menyampaikan hasrat itu kepadanya.
10. Wanita lebih suka tinggal di rumah.
[14] Salah satu pembahasan yang cukup menarik, misalnya, bisa dibaca pada tulisan Robin Edgar berjudul Red Moon Rising: Menstrual Symbolism in Total Lunar Eclipses di sebuah situs internet.
[15] Nasaruddin (1995), sebagaimana dikutip dari Lara Owen, (1993): Her Blood is Gold: Celebrating the Power of Menstruation, Harper: San Francisco, hal. 29.
[16] Grahn, Judy, (1993): Blood, Bread, and Roses: How Menstruation Created the World, Beacon Press: Boston, hal. 87.
[17] Nasaruddin, (1995 & 1996), op.cit., hal. 78 & 43, dikutip dari beberapa sumber yaitu Franz Steiner, (1956): Taboo, Penguin: London, hal. 32; Evelyn Red, (1993): Woman’s Evolution, Pathfinder: New York; Thomas Buckley & Alma Goettlieb, (1988): Blood Magic: The Anthropology of Menstruation, University of California Press: Berkeley, hal. 7.
[18] Nasaruddin, (1995), op.cit., hal. 78.
[19] Epstein, (1967), op.cit., hal. 41.
[20] Akbar S. Ahmed, (1997): Living Islam: Tamasya Budaya Menyusuri Samarkand Hingga Stornoway, alih bahasa oleh Pangestuningsih, Mizan: Bandung, hal.233.
[21] Nasaruddin, (1995), op.cit., sebagaimana dikutip dari Mustafa Hashem Sherif, What is Hijab, dalam Journal the Muslim World, vo. LXXVIII, no. 2, hal. 157.
[22] Nasaruddin, (1996), op.cit. hal. 39.
[23] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 232-233.
[24] Habitus adalah sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu yang didefinisikan sebagai “Sebuah sistem disposisi yang kekal dan berpindah-pindah, yang mengintegrasikan pengalaman-pengalaman masa lalu, berfungsi pada setiap kesempatan sebagai sebuah matriks persepsi, apresiasi, dan tindakan-tindakan dan memungkinkan pencapaian berbagai tugas yang tidak terhingga, berkat jasa transformasi skema-skema analogis yang memungkinkan solusi masalah yang terbentuk nyaris serupa. (dalam Outlineof a Theory of Practice, hal. 83). Sedangkan disposisi itu sendiri adalah “alam kedua” yang diperoleh manusia melalui habitus. Namun dalam artikel ini istilah tersebut digunakan untuk membedakan dari budaya yang memiliki nilai-nilai adiluhung. Habitus dalam hal ini lebih mengarah kepada gaya hidup pop atau kebiasaan hidup sehari-hari yang berdasarkan nilai-nilai yang banal dan permukaan. Masalah ini, Insya Allah, akan dibahas tersendiri dalam tulisan berjudul “Jiwa/Budaya dan Tubuh/Peradaban” yang sedang dalam pengerjaan.
[25] Lihat Terrence Hawkes, (1988): Structuralism and Semiotics, Routledge: London.
[26] Adapun perkara ad-Diin diperjelas lebih jauh dalam sebuah hadits
Pada suatu hari kami (‘Umar bin Khattab r.a. dan para sahabat r.a. lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorangpun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Al-Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Al-Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Al- Iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Al-Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah anda melihatNYA walaupun Anda tidak melihatNYA, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” …… Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?”
Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasulNYA lebih mengetahui.” Rasulullah lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkan Ad-Diin kalian.” (Al-Hadits)
Imam Ali bin Abi Thalib kwh menegaskan Awaludinna Ma’rifatullah, “Awal dari Ad- Diin adalah ma’rifatullah.” Adapun ma’rifat itu sendiri adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, Man ‘arafa nasfahu faqad ‘arafa Rabbahu, “Barangsiapa yang mengenal nafsnya maka sungguh ia akan mengenal Rabbnya.” Kemudian Imam Al-Ghazali r.a. pun memberikan catatan mengenai hal ini bahwa “kemuliaan dan keutamaan manusia…adalah disebabkan persediaannya mengenal Allah (ma’rifatullah)…di mana ma’rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di akhirat adalah alat dan simpanannya.” Ad-Diin didirikan diatas tiga sendi, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan; padanannya dalam Al-Qur’an adalah Iman dan Amal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syari’at. Namun Syari’at pun terbagi menjadi dua yaitu, pertama, Syari’at Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syari’at Bathin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf. Pembahasan lebih detail mengenai masalah ini lihat “Serambi Suluk”, op.cit.
[27] Imam Al-Ghazali ra mengemukakan dua pengertian iman, yaitu pengertian majazi, di mana iman diartikan sebagai percaya, dan pengertian haqiqi, di mana iman diartikan sebagai cahaya. Lebih jauh, beliau pun membagi tiga tingkatan iman,[27]
yaitu
1. Iman awami,
yaitu imannya orang-orang yang awam, yang semata-mata taqlid, di mana iman dipahami sebagai percaya.
2. Iman mutakalimiin,
yaitu imannya para ahli kalam yang bercampur aduk dengan berbagai macam dalil, dan tingkatannya mendekati tingkat keimanan orang awam.
3. Iman ‘Arifiin,
yaitu imannya para al-mu’min, orang-orang telah ma’rifat kepada Allah SWT, tingkat keimanan dari orang-orang yang menyaksikan dengan nur keyakinan. Lebih jauh mengenai kaitan iman dengan qalb (dan pada gilirannya nanti adalah ketaqwaan) tergambarkan secara gamblang dalam hadits bahwa Qalb itu empat macam: qalb yang bersih, padanya pelita yang bersinar gemilang, maka itulah qalb al-mu’min. Qalb hitam terbalik, maka itulah qalb orang kafir.
Qalb terbungkus yang terikat bungkusannya, itulah qalb orang munafiq. Dan qalb yang melintang, padanya keimanan dan kemunafikan, maka keimanan dalam qalb itu, adalah seperti sayur-sayuran, yang dipanjangkan oleh air yang baik, dan kemunafikan dalam di dalam qalb, adalah seperti luka yang dipanjangkan leh darah dan nanah. Maka yang manakah di antara dua hal tadi yang banyak pada qalb, maka begitulah jadinya qalb itu. (Dalam riwayat lain: bejalanlah hal itu dengan qalb). (Al-Hadits)
“Taqwa itu di sini.” Lalu Nabi Saw menunjukkan kepada qalb. (Al-Hadits) Lebih jauh lagi mengenai iman dapat dilihat dalam bentuk yang saling berkait pada beberapa ayat Al-Qur`an serta Al-Hadits sebagai berikut
Orang-orang Arab itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah berserah diri (aslam)’ karena iman itu belum masuk ke dalam qalbmu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan menguarangi sedikitpun amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Hujuraat [49]: 14)
Maka apakah orang-orang yang dilapangkan shudurnya untuk berserah diri (Al-Islam) lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalbnya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS Az-Zumar [39]: 22)
Pada hari ketika kamu melihat al-mu’min dan al-mu’minat, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan (yaitu, cahaya iman) dan di sebelah kanan mereka (yaitu, cahaya ilmu) mereka, (dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di
dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. (QS Al-Hadiid [57]: 12)
Berkaitan dengan Q.S. Az-Zumar [39]: 22 Nabi Saw ditanya: “Apakah pembukaan itu?” Nabi Saw menjawab: “Yaitu perluasan. Sesungguhnya cahaya itu, apabila telah dicurahkan ke dalam qalb, niscaya meluaslah dada dan terbuka.” (Al-Hadits) Rasulullah Saw bersabda, “Apabila cahaya Allah telah memasuki qalb maka dadapun menjadi lapang dan terbuka.” Seorang sahabat bertanya, “Apakah yang demikian itu ada tanda-tandanya ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Ya, orang-orang yang mengalaminya lalu merenggangkan pandangannya dari negeri tipuan dan bersiap menuju ke negeri abadi serta mempersiapkan diri untuk mati sebelum mati.” (Al-Hadits)
Sahabat Anas bin Malik meriwayatakan bahwa pada suatu ketika Rasulullah Saw sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernamaHaritsah. Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana keadaanmu, ya, Haritsah?” Haritsah menjawab, “Hamba sekarang benar-benar menjadi seorang mu’min billah.” Rasulullah Saw menjawab, “Ya Haritsah, pikirkanlah dahulu apa yang engkau ucapkan itu, setiap ucapan itu harus dibuktikan.” Haritsah menjawab, “Ya Rasulullah, hawa nafsu telah menyingkir, kalau malam tiba hamba berjaga untuk beribadah kepada Allah SWT, dan di waktu siang hamba berpuasa. Sekarang ini hamba dapat melihat ‘Arsy Allah tampak dengan jelas di depan hamba. Hamba dapat melihat orang-orang di surga saling kunjung mengunjungi. Hamba dapat melihat penghuni neraka berteriak-teriak.” Maka Rasulullah Saw berkata, “Engkau menjadi orang yang imannya dinyatakan dengan terang oleh Allah SWT di qalbmu.” (Al-Hadits)
[28] Lihat QS Al-Ankabuut [29]: 9; QS Al-Israa’ [17]: 9; QS Al-Kahfi [18]: 2; QS An-Nuur [24]: 62.
[29] Untuk mengetahui lebih jauh ihwal rahmat pertama dan rahmat kedua bisa dilihat dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, vol. 1, no.1, Agustus 2001, PICTS: Bandung.
[30] Hadits ini sebenarnya sangat simbolik, untuk mengetahui lebih lanjut makna dari kata-kata beliau Saw di atas, lihat kerangkanya dalam Jurnal Suluk Ruh Al-Quds, op.cit.
[31] Lama Abu Odeh, (1997): Post-Colonial Feminism and the Veil: Thinking the Difference, dalam Mary M. Gergen & Sara N. Davis (ed.), Toward a New Psychology of Gender: A Reader, Routledge: New York, hal. 254-255.
[32] Nasaruddin, (1996): op.cit., hal. 39.
[33] Yi-Fu Tuan, sebagaimana di kutip oleh Victor Papanek, (1994): The Coming of a New Aesthetic: Eco-Logic, Etho-Logic, Bio-Logic, dalam Jeremy Myerson (ed.), Design Renaissance, Open Eye Publishing: England, hal. 29.
[34] Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 75-77.
[35] Beryl Causari Syamwil, (Dzulqaidah 1414): Harapan kepada Peran Buku-buku Tentang Wanita Islam di Indonesia, dalam Jurnal Salman Komunikasi Aspirasi Ummat (SKAU), hal. 19.
[36] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 212.
[37] Washburn, Karen E., (2001): Jilbab, Kesadaran :Post-Kolonial, dan Aksi Tiga Perempuan (Jawa), dalam Monika Eviandaru, dkk., Perempuan Postkolonial dan Identitas Komoditi Global, Kanisius: Yogyakarta, hal. 111.
[38] Akbar S. Ahmed, (1997): op.cit., hal. 233.
[39] Lihat Washburn, (2001): op.cit., hal. 111-138.
[40] Kebosanan adalah perilaku yang dipacu oleh masyarakat industri atau kapitalis. Sistem nilai yang berlaku di situ adalah nilai-nilai yang berpijak pada suatu kapital atau uang. Masyarakat diajak berkelana dalam siklus kehidupan fashion, dan diajari untuk selalu meraih sesuatu yang baru, serta diajari juga untuk cepat bosan terhadap suatu mode. Sebuah siklus yang seolah selalu menawarkan kebaruan, suatu progress, padahal sebenarnya mereka hanya berputar-putar saja. Selain itu masyarakat pun seolah diberikan kebebasan untuk memilih yang sebenarnya adalah pendiktean dari seperangkat gaya oleh produsen kepada konsumen.
[41] Dijk, Kees van, (1997): op.cit., hal. 77-78.
[42] Dikutip dari catatan kuliah Estetika III oleh Yustiono di FSRD-ITB tahun 1998.
[43] Pembahasan mengenai makna-makna spiritual dari warna-warna dibahas lebih jauh secara mendalam pada Falsafah Jroning Warna, PICTS: Bandung.
[44] Baru-baru ini sempat mencuat suatu peristiwa yang kontroversial dalam dunia fashion di Prancis di mana seorang desainer terkemuka menempelkan potongan ayat Al-Qur’an yaitu surat Al-Baqarah yang ditempelkan di atas bagian belahan dada yang terbuka pada baju rancangannya. Ketika ditanya, sang desainer berkata bahwa dia tidak mengetahui bahwasanya huruf Arab tersebut adalah ayat Al-Qur’an, karena dia menemukan sebuah potongan ayat tersebut—entah dari mana—yang kemudian dinilainya sangat bagus apabila ditempelkan pada salah satu baju rancangannya. Di sini bisa dilihat bahwa “estetika” bagi desainer jauh lebih utama ketimbang maknanya.
[45] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 2547.
[46] Godard, Jean-Luc, sebagaimana dikutip dalam Papanek (1994), op.cit.
[47] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 246-247.
[48] Barthes, Roland, (1983): Myth Today, dalam Mythologies, diseleksi dan alih bahasa oleh Annete Lavers Paladin: New York, hal. 115.
[49] Barthes, Roland, (1994): Elements of Semiology, alih bahasa oleh Annete Lavers & Colin Smith, Hill and Wang: New York, hal. 91-92.
[50] Fiske, John, (1990): Introduction to Communication Studies, edisi kedua, Routledge: London, hal. 171.
[51] Althusser, Louis, (1970): For Marx, alih bahasa oleh Ben Brewster, Vintage: New York, hal. 223.
[52] Penjelasan lebih jauh mengenai masalah ini dibahas dalam Alfathri Adlin & Ahmad Shalahuddin Zulfa, (2001): Spiritualitas, Makna Hidup, (Pos)Modernitas: Tashawwuf dan Pencarian Manusia di antara al-Haqq dan Waham, naskah untuk Jurnal Suluk Ruh Al-Quds.
[53] Ibid., hal. 92.
[54] Ibid., hal. 118.
[55] Ibid., hal. 144.
[56] Hebdige, Dick, (1993): Subculture: The Meaning of Style, Routledge: London, hal. 17-18.
[57] Baudrillard, (1981): op.cit., hal. 196.
[58] Lama Abu Odeh, (1997): op.cit., hal. 248-249.
[59] Washburn mengambil pembagian ini dari Dr. Gananath Obysekere yang mengkategorikannya menjadi tiga bagian, dan dua kategori selain personal symbol tersebut adalah,
pertama, cultural symbol, suatu simbol yang sangat dikenali dan diketahui oleh orang di satu kebudayaan. Kedua, psychogenetic symbol, suatu simbol yang mungkin mempunyai arti personal untuk pelaku-pelaku di zaman dulu, tetapi yang sekarang sudah hilang arti personalnya. Lihat Washburn (2001): op.cit., hal.
131-132.